Saturday, August 1, 2015

AKHIRNYA, (AKAN) MENUJU DEMOKRASI SONTOLOYO!


(KN) Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, untuk tidak di cap sebagai negara diktator dan anti demokrasi, Presiden Sukarno kala itu mengeluarkan maklumat yang intinya membentuk partai-partai politik baru dan mengangkat Perdana Menteri Sutan Syahrir sebagai pelaksana pemerintahan. Peristiwa ini, merupakan pengkianatan sistem pemerintahan presidensil untuk yang pertama kali dalam sejarah ketata negaraan kita. Walau dengan berbagai alasan di belakangnya.
Selanjutnya, pasca Konferensi Meja Bundar(KMB) Denhag(Belanda), bentuk negara kita juga berubah menjadi federal, yang di kenal dengan Republik Indonesia Serikat(RIS) dengan perdana menteri drs. Moh. Hatta. Walau tak lama, Kurang lebih setahun. Peristiwa ini juga mengkhianati sistem presidensil untuk kali kedua dan di teruskan sistem parlementer hingga tahun 1959.
Sejak dekrit Presiden 1 Juli 1959, sistem demokrasi kita (tanpa sadar) kembali ke sistem diktator yang hendak di hilangkan capnya pasca proklamasi oleh Sukarno. Dan oleh beliau juga kita masuk ke fase demokrasi terpimpin, dengan jargon utama Presiden seumur hidup! Dan berikutnya kita masuk ke era demokrasi Pancasila sampai akhirnya era reformasi datang!
Di era reformasi yang berawal dari 1998, kehidupan demokrasi kita mulai menapak pada jalur yang benar. Sistem politik, ketatanegaraan di garap sedemikian hingga menampilkan wajah baru yang lebih demokrasi, bahkan kekuasaan Presiden mulai di kebiri dengan berbagai perundang-undangan, sampai tahun 2015 ini, keberadaan parlemen betul-betul di perkuat oleh undang-undang. Hampir di semua aspek ketatanegaraan, keterlibatan unsur partai politik, sebagai motor penggerak parlemen(dewan) dan pemerintahan berurat dan mengakar. Limpahan kekuasaan kepada partai politik ini, ternyata tidak di barengi dengan penguatan sumber daya manusia(SDM) yang mumpuni, dari sekian banyak partai yang ada saat ini, umunya di isi tokoh-tokoh  yang pernah dan berkecimpung di partai Golkar, yang cukup berjaya di era Orde baru.  Sebahagian lagi di isi oleh kaum muda pasca reformasi, yang opurtunis, ambisius namun sangat minim pengalaman politik.
Kombinasi kedua kelompok ini, menimbulkan adhesi dan kohesi politik yang unik, yaitu koalisi kepentingan. Yang menyebabkan banyak terjadi ketegangan politik yang muncul di permukaan. Jika ada satu persoalan setiap partai akan segera membentuk ikatan dengan partai lain dengan pandangan yang sama untuk ( berusaha) membendung ikatan partai lain dengan pandangan yang berbeda. Ketegangan ini kerap kali di piara secara laten, untuk kelak di munculkan jika dalam keadaan terdesak. Khususnya untuk menekan lawan politik. Model politik seperti ini, yang mengedepankan gaya tarik atau gaya tolak  terkait pandangan politik , sangat dekat dengan bunyi Gaya Coulomb. Yaitu; jika dua buah muatan di dekatkan akan timbul gaya tolak atau gaya tarik yang besarnya berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya.  Kondisi ini otomatis mengabaikan pengembangan SDM partai yang handal. Dimana medan yang timbul akibat keberadaan gaya tolak-tarik mengkooptasi energi yang ada.
Dampaknya, pada tahun 2015 ini. yang merupakan tahun pergeseran kekuasaan di daerah, terjadi fenomena yang aneh. Partai-partai politik yang menjadi sokoguru demokrasi tak berhasil menampilkan individu-individu unggul yang bisa di majukan untuk tampil menjadi kepala daerah dan menjadi pilihan rakyat. Yang ada banyak tokoh yang maju dalam pilkada mengkooptasi banyak partai untuk di calonkan menjadi kepala daerah. Artinya, keberadaan partai-partai bisa dikikis oleh ke tokohan individu. Sekali lagi penyebabnya hanya satu, partai tak mampu melahirkan pemimpin baru. Dan partai, tidak lagi memposisikan diri sebagai tiang-tiang demokrasi, melainkan hanya memposisikan diri sebagai sampan. Kalau tak mau di sebut rakit! Rakit demokrasi, mau menyeberangkan calon pemimpin dengan harapan tertentu. 


Maka, tak aneh jika ada sembilan partai mendukung satu pasang calon dalam sebuah ajang pilkada. Hingga menjadikan pasangan calon tersebut menjadi pasangan tunggal, tanpa lawan. Jika ini terjadi, demokrasi kita, tak lebih baik dari Tirani. Dulu ketika, terjadi Pilkot Kota Medan antara  Abdillah dan pasangannya melawan Sigit pramono Asri dengan pasangannya bertarung. Penulis sempat di tanya kenapa pilih Sigit yang pasti kalah. Waktu itu di jawab oleh penulis, Saya tidak pilih Abdillah, agar ia tahu tak semua penduduk Medan memilih dia! Itu yang penting, dan itulah demokrasi. Tapi jika hanya satu pasang calon yang maju dalam pilkada, dan tidak ada ruang untuk menyalurkan suara bagi yang tak mendukung calon tersebut! maka demokrasi ini hanyalah sebuah demokrasi sontoloyo! Dan itu sudah sangat dekat di kabupaten yang kita cintai ini, Asahan. Apa gerangan yang terjadi wahai petinggi partai?