(KN) Pasca Proklamasi 17 Agustus
1945, untuk tidak di cap sebagai negara diktator dan anti demokrasi, Presiden
Sukarno kala itu mengeluarkan maklumat yang intinya membentuk partai-partai
politik baru dan mengangkat Perdana Menteri Sutan Syahrir sebagai pelaksana
pemerintahan. Peristiwa ini, merupakan pengkianatan sistem pemerintahan
presidensil untuk yang pertama kali dalam sejarah ketata negaraan kita. Walau
dengan berbagai alasan di belakangnya.
Selanjutnya, pasca Konferensi
Meja Bundar(KMB) Denhag(Belanda), bentuk negara kita juga berubah menjadi
federal, yang di kenal dengan Republik Indonesia Serikat(RIS) dengan perdana
menteri drs. Moh. Hatta. Walau tak lama, Kurang lebih setahun. Peristiwa ini
juga mengkhianati sistem presidensil untuk kali kedua dan di teruskan sistem
parlementer hingga tahun 1959.
Sejak dekrit Presiden 1 Juli
1959, sistem demokrasi kita (tanpa sadar) kembali ke sistem diktator yang
hendak di hilangkan capnya pasca proklamasi oleh Sukarno. Dan oleh beliau juga
kita masuk ke fase demokrasi terpimpin, dengan jargon utama Presiden seumur
hidup! Dan berikutnya kita masuk ke era demokrasi Pancasila sampai akhirnya era
reformasi datang!
Di era reformasi yang berawal
dari 1998, kehidupan demokrasi kita mulai menapak pada jalur yang benar. Sistem
politik, ketatanegaraan di garap sedemikian hingga menampilkan wajah baru yang
lebih demokrasi, bahkan kekuasaan Presiden mulai di kebiri dengan berbagai
perundang-undangan, sampai tahun 2015 ini, keberadaan parlemen betul-betul di
perkuat oleh undang-undang. Hampir di semua aspek ketatanegaraan, keterlibatan
unsur partai politik, sebagai motor penggerak parlemen(dewan) dan pemerintahan
berurat dan mengakar. Limpahan kekuasaan kepada partai politik ini, ternyata
tidak di barengi dengan penguatan sumber daya manusia(SDM) yang mumpuni, dari
sekian banyak partai yang ada saat ini, umunya di isi tokoh-tokoh yang pernah dan berkecimpung di partai
Golkar, yang cukup berjaya di era Orde baru.
Sebahagian lagi di isi oleh kaum muda pasca reformasi, yang opurtunis,
ambisius namun sangat minim pengalaman politik.
Kombinasi kedua kelompok ini,
menimbulkan adhesi dan kohesi politik yang unik, yaitu koalisi kepentingan. Yang
menyebabkan banyak terjadi ketegangan politik yang muncul di permukaan. Jika
ada satu persoalan setiap partai akan segera membentuk ikatan dengan partai
lain dengan pandangan yang sama untuk ( berusaha) membendung ikatan partai lain
dengan pandangan yang berbeda. Ketegangan ini kerap kali di piara secara laten,
untuk kelak di munculkan jika dalam keadaan terdesak. Khususnya untuk menekan
lawan politik. Model politik seperti ini, yang mengedepankan gaya tarik atau
gaya tolak terkait pandangan politik ,
sangat dekat dengan bunyi Gaya Coulomb. Yaitu; jika dua buah muatan di dekatkan
akan timbul gaya tolak atau gaya tarik yang besarnya berbanding terbalik dengan
kuadrat jaraknya. Kondisi ini otomatis
mengabaikan pengembangan SDM partai yang handal. Dimana medan yang timbul
akibat keberadaan gaya tolak-tarik mengkooptasi energi yang ada.
Dampaknya, pada tahun 2015 ini.
yang merupakan tahun pergeseran kekuasaan di daerah, terjadi fenomena yang
aneh. Partai-partai politik yang menjadi sokoguru demokrasi tak berhasil
menampilkan individu-individu unggul yang bisa di majukan untuk tampil menjadi
kepala daerah dan menjadi pilihan rakyat. Yang ada banyak tokoh yang maju dalam
pilkada mengkooptasi banyak partai untuk di calonkan menjadi kepala daerah.
Artinya, keberadaan partai-partai bisa dikikis oleh ke tokohan individu. Sekali
lagi penyebabnya hanya satu, partai tak mampu melahirkan pemimpin baru. Dan
partai, tidak lagi memposisikan diri sebagai tiang-tiang demokrasi, melainkan
hanya memposisikan diri sebagai sampan. Kalau tak mau di sebut rakit! Rakit demokrasi,
mau menyeberangkan calon pemimpin dengan harapan tertentu.