Geliat olah raga di Asahan lima tahun belakangan ini terbilang lebih baik di bandingkan beberapa tahun sebelumnya. Asahan sempat memiliki Bintang Jaya yang jadi ruh kebangkitan sepak bola, kemudian pemusatan tim pra pon di Kisaran merupakan bukti lain.
Turnamen tenis meja, sudah bisa dilaksanakan minimal dua kali dalam setahun. Bola voli juga mulai berteriak seperti minggu lalu di lapangan Dispora.
Sekarang apa yang jadi harapan pencinta olah raga di Asahan? Dari segi turnamen betul menggeliat, bagaimana dengan pembinaan? Jika berpijak pada sudut ini, kondisi olah raga betul-betul menyedihkan. Hampir semua cabang sepertinya dibiarkan berkembang sendiri, jika ingin layu, menunggu dengan sendirinya. Ini melanda semua cabang. Yang masih terlihat bergerak hanya cabang tenis meja, pembinaan usia dini masih berjalan di gelanggang umbut-umbut baru. Tapi belakangan pembinaan mulai tidak solid dan terjadi pembinaan ganda. Ini menggambarkan menejemen dalam setiap organisasi olah raga di Asahan tidak lagi "peka". Program kerja yang seharusnya ada pada pengurus terlihat hanya di simpan dalam hati, transparansi anggaran di lupakan yg mengarah pada hilangnya empati dari pecinta olah raga itu sendiri. Entah ini di sengaja atau tidak sepertinya ini dibiarkan agar menguntungkan segelintir oknum.
Mudah-mudahan dengan di lantiknya pengurus KONI Asahan yang baru, paradigma pembinaan olah raga di Asahan bisa jadi tujuan utama, sedangkan prestasi instan yang gadang-gadang mengharumkan Asahan cukup sebagai second opinion! Bravo olah raga Asahan!
Monday, March 28, 2016
Koni Asahan Dan Prestasi Yang Diharapkan
Thursday, March 24, 2016
BIANG KEROK PENDIDIKAN BERJALAN “MENYAMPING”
Setiap kita memperhatikan
regulasi tentang pendidikan di Indonesia, harapan untuk pendidikan yang lebih
baik itu seperti nyata di depan mata. Apalagi setelah program sertifikasi di luncurkan,
walau belum serta merta mensejahterakan guru.
Itu merupakan langkah awal untuk memancing minat, pribadi-pribadi
terbaik mau terjun menjadi guru.
Begitu juga jika kita
memperhatikan perbaikan kurikulum. Perubahan paradigma kurikulum dari lebel kompetensi
ke pendidikan karakter yang di gawangi Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK)menuju
Kurikulum 2013(K-13). Merupakan wujud dari keinginan untuk menuju pendidikan
yang lebih baik. Sayangnya, kalimat-kalimat istimewa yang di luncurkan setiap
adanya perubahan kurikulum ini, sepertinya tak pernah membumi dalam praktek di
lapangan.
Kenyataan ini semakin miris
ketika dalam sebuah laporan penelitian yang menyatakan hanya 11% dari seluruh
guru di Indonesia yang mau memperbaiki diri setelah adanya program sertifikasi.
Artinya dari seratus orang guru, di yakini hanya sebelas orang saja yang terus
berupaya untuk meningkatkan kualitas ilmunya.
Fakta ini sangat bertentangan
dengan kenyataan, bahwa tingkat kelulusan siswa dalam setiap jenjang pendidikan
khususnya tingkat SLTA mencapai 99,9%. Lalu pertanyaannya bagaimana bisa
terjadi dengan 11% guru yang kreatif mampu menghasilkan kelulusan siswa hingga
hampir mendekati 100%?. Dalam prestasi belajar di buat hipotesis; jika siswa
memperoleh nilai 92 dalam rapor untuk satu mata pelajaran, di terjemahkan bahwa
ia telah mampu menyerap 92% pembelajaran dari 100% persen yang ia terima. Lalu
bagimana jika 99,9% ?
Gambaran sekilas keberadaan dunia
pendidikan kita itu, semakin “menyamping” ketika kita juga sadar, angka 92 seperti
yang di sebutkan diatas, ternyata juga tidak sesuai dengan kualitas yang ada.
Terkadang gambaran nila 92 yang tertulis lebih dekat keangka 20 saja. Atau jika
ingin lebih ekstrim tamatan SLTA di samakan dengan tamatan esde tahun delapan
puluhan. Kenapa? Karena masih banyak sebenarnya tamatan SLTA tidak bisa
menyelesaikan persoalan pecahan yang harusnya sudah di miliki saat tamat esde.
Sekali lagi kenapa bisa demikian?
Standar Pendidik
Baru-baru ini Rektor Universitas
Negeri Medan(UNIMED) Prof. Dr. Syawal Gultom menyatakan; model pendidikan di
sekolah saat ini belum belum mengeksplorasi dengan baik tentang karakter,
potensi dan nalar. Bila kita cermati pernyataan ini, ujung dari persoalan
tersebut pastilah Guru. Jika guru tidak mampu membelajarkan siswanya memasuki ranah yang menunjukkan karakternya,
sekaligus memperlihatkan potensinya, selanjutnya bisa bernalar sesuai dengan
keadaan yang ada. Apa mungkin siswanya jadi seperti yang di inginkan?
Seharusnya semua calon guru yang
masih mengeyam pendidikan di perguruan tinggi lebih dahulu di bekali metode dan
model pembelajaran yang bisa secara alamiah di terapkan pada tataran
pelaksanaan. Mereka di berikan stimulus-stimulus yang menghasilkan respon menemukan model dan
metode pembelajaran terbaru. Selama ini pendidikan calon guru di perguruan
tinggi tidak lebih sama dengan perguruan tinggi non kependidikan. Penambahan
paling pada ilmu yang terkait dengan teori-teori pendidikan. Yang sekali lagi
tak akan pernah bisa di terapkan dengan kondisi yang ada. Pernah ketika penulis
mengenyam pendidikan calon guru, seorang teman yang karena kesulitan biaya
harus kuliah sambil kerja mengeluarkan pernyataan; mahasiswa paling bodoh pun,
pasti akan lulus dari sini!”. Sori mori pak Rektor, pernyataan itu sekarang
mulai terbukti bahkan mulai “merembes” di tingkat di bawahnya. Jadi untuk
kedepan, perguruan tinggi yang menghasilkan calon guru seperti UNIMED hendaknya lebih dahulu mengubah model dan
metode pembelajarannya sebelum meluncurkan kurukulum baru. Agar terjadi
sinkronisasi antara Kurikulum-Guru-kualiatas siswa. Ini penting untuk
memperbesar jumlah 11% guru kreatif tadi. Dengan lebih dahulu menaikkan standar
lulusan calon guru. Bahasa Semen Padang, kami berbuat sebelum anda memikirkan.
Standar Pengelolaan
Koreksi tentu saja jadi menu
utama, saat membaca pernyataan diatas. Terutama tentang teori dan model
pembelajaran yang tak akan pernah bisa di terapkan di sekolah atau madrasah.
Kenapa demikian? Mari kita perhatikan standar pengelolaan yang tertuang dalam
Peraturan Menteri Pendidikan No 19 Tahun 2007. Standar pengelolaan pendidikan
untuk satuan pendidikan dasar dan menengah adalah standar pengelolaan
pendidikan untuk sekolah/madrasah yang berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan agar tercapai efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Terkait dengan perencanaan,
otomatis yang di maksud adalah Kepala sekolah, Wakil Kepala dan dewan guru.
Untuk pelaksanaan jelas berada di pundak guru sedangkan untuk pengawasan berada
di tangan komite sekolah.
Ada pun tahapan-tahapan perencanaan meliputi; visi dan
misi,tujuan,rencana kerja sekolah. Untuk pelaksanaan
meliputi; Pedoman sekolah, struktur organisasi sekolah, pelaksana
kegiatan,bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran dan
sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya dan lingkungan
serta kemitraan. Sedangkan Pengawasan
meliputi; Program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi pengembangan KTSP,
evaluasi pendayagunaan tenaga pendidik dan kependidikan dan akreditasi sekolah.
Dari ketiga tahapan tersebut,
banyak poin-poin yang menitik beratkan masalah keterbukaan atau transparansi.
Misalnya; bidang keuangan dan pembiayaan pada poin (d) menyatakan;
Pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah
disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin
tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel. Selain
itu ada poin yang menyatakan wewenang dewan pendidik, salah satunya: Wakil
kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan pendidik, dan proses pengangkatan
serta keputusannya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah
kepada institusi di atasnya. Dalam hal
sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah penyelenggara
sekolah/madrasah. Kondisi saat ini, wakil Kepala sekolah selalu di
plesetkan dengan Pembantu Kepala Sekolah(PKS) yang pengangkatan berdasarkan SK
Kepala. Sehingga tak jarang PKS ini jadi “kacung” kepala.
Standar pengelolaan ini
menekankan pentingnya dewan pendidik, yang porsi dan peranannya lebih kurang
sama denga kepala Madrasah. Sayangnya, walau sejak 2007 di keluarkan. Belum ada
satu sekolah pun yang menerapkan standar ini. Kenapa? Karena terlalu banyak
faktor x yang menempatkan sesorang jadi kepala sekolah dan Madrasah, faktor x
ini bahkan kerap menjadi alasan utama untuk mengambil kebijakan di
sekolah/madrasah. Jika hal ini yang terjadi
model dan metode belajar mana yang bisa di terapkan? Jawabannya hanya satu
model dan metode belajar X juga.
Kesimpulan
Akhirnya, setelah memperhatikan
penjelasan yang serba terbatas diatas kita mulai mendapatkan penjelasan kenapa
pendidikan kita seperti sekarang ini.
Faktor pertama penyebabnya tak lain adalah kualitas pendidik yang
memiliki tingkat kreatifitas untuk meningkatkan mutu diri yang rendah. Kenapa
bisa rendah? Karena guru atau pendidik kehilangan stimulus dari sekolah untuk
meningkatkan kualitas, di sebabkan standar pengelolaan yang tak pernah di
terapkan.
Sebagai regulator, kita
mengharapkan pemerintah segera turun tangan untuk memeriksa kondisi ini.
Standar pengelolaan ini harus bisa di lekatkan ke tiap sekolah/madrasah. Jangan
lagi mengharapkan ini bisa di urus oleh pemerintah daerah/kementerian. Jika hal
ini bisa berjalan, faktor x yang menjadi dasar pengelolaan bisa di eliminir dan
dunia pendidikan kita tidak lagi berjalan menyamping. Almarhum Benyamin S benar
kekacauan pasti ada “biangkeroknya”.(M. Ali Hasyimi)
Subscribe to:
Posts (Atom)