Monday, March 28, 2016

Koni Asahan Dan Prestasi Yang Diharapkan

Geliat olah raga di Asahan lima tahun belakangan ini terbilang lebih baik di bandingkan beberapa tahun sebelumnya. Asahan sempat memiliki Bintang Jaya yang jadi ruh kebangkitan sepak bola, kemudian pemusatan tim pra pon di Kisaran merupakan bukti lain.
Turnamen tenis meja, sudah bisa dilaksanakan minimal dua kali dalam setahun. Bola voli juga mulai berteriak seperti minggu lalu di lapangan Dispora.
Sekarang apa yang jadi harapan pencinta olah raga di Asahan? Dari segi turnamen betul menggeliat, bagaimana dengan pembinaan? Jika berpijak pada sudut ini, kondisi olah raga betul-betul menyedihkan. Hampir semua cabang sepertinya dibiarkan berkembang sendiri, jika ingin layu, menunggu dengan sendirinya. Ini melanda semua cabang. Yang masih terlihat bergerak hanya cabang tenis meja, pembinaan usia dini masih berjalan di gelanggang umbut-umbut baru. Tapi belakangan pembinaan mulai tidak solid dan terjadi pembinaan ganda. Ini menggambarkan menejemen dalam setiap organisasi  olah raga di Asahan tidak lagi "peka". Program kerja yang seharusnya ada pada pengurus terlihat hanya di simpan dalam hati, transparansi anggaran di lupakan yg mengarah pada hilangnya empati dari pecinta olah raga itu sendiri. Entah ini di sengaja atau tidak sepertinya ini dibiarkan agar menguntungkan segelintir oknum.
Mudah-mudahan dengan di lantiknya pengurus KONI Asahan yang baru, paradigma pembinaan olah raga di Asahan bisa jadi tujuan utama, sedangkan prestasi instan yang gadang-gadang mengharumkan Asahan cukup sebagai second opinion! Bravo olah raga Asahan!

Thursday, March 24, 2016

BIANG KEROK PENDIDIKAN BERJALAN “MENYAMPING”

Setiap kita memperhatikan regulasi tentang pendidikan di Indonesia, harapan untuk pendidikan yang lebih baik itu seperti nyata di depan mata. Apalagi setelah program sertifikasi di luncurkan, walau belum serta merta mensejahterakan guru.  Itu merupakan langkah awal untuk memancing minat, pribadi-pribadi terbaik mau terjun menjadi guru.
Begitu juga jika kita memperhatikan perbaikan kurikulum. Perubahan paradigma kurikulum dari lebel kompetensi ke pendidikan karakter yang di gawangi Kurikulum Berbasis Kompetensi(KBK)menuju Kurikulum 2013(K-13). Merupakan wujud dari keinginan untuk menuju pendidikan yang lebih baik. Sayangnya, kalimat-kalimat istimewa yang di luncurkan setiap adanya perubahan kurikulum ini, sepertinya tak pernah membumi dalam praktek di lapangan.
Kenyataan ini semakin miris ketika dalam sebuah laporan penelitian yang menyatakan hanya 11% dari seluruh guru di Indonesia yang mau memperbaiki diri setelah adanya program sertifikasi. Artinya dari seratus orang guru, di yakini hanya sebelas orang saja yang terus berupaya untuk meningkatkan kualitas ilmunya.
Fakta ini sangat bertentangan dengan kenyataan, bahwa tingkat kelulusan siswa dalam setiap jenjang pendidikan khususnya tingkat SLTA mencapai 99,9%. Lalu pertanyaannya bagaimana bisa terjadi dengan 11% guru yang kreatif mampu menghasilkan kelulusan siswa hingga hampir mendekati 100%?. Dalam prestasi belajar di buat hipotesis; jika siswa memperoleh nilai 92 dalam rapor untuk satu mata pelajaran, di terjemahkan bahwa ia telah mampu menyerap 92% pembelajaran dari 100% persen yang ia terima. Lalu bagimana jika 99,9% ?
Gambaran sekilas keberadaan dunia pendidikan kita itu, semakin “menyamping” ketika kita juga sadar, angka 92 seperti yang di sebutkan diatas, ternyata juga tidak sesuai dengan kualitas yang ada. Terkadang gambaran nila 92 yang tertulis lebih dekat keangka 20 saja. Atau jika ingin lebih ekstrim tamatan SLTA di samakan dengan tamatan esde tahun delapan puluhan. Kenapa? Karena masih banyak sebenarnya tamatan SLTA tidak bisa menyelesaikan persoalan pecahan yang harusnya sudah di miliki saat tamat esde. Sekali lagi kenapa bisa demikian?
Standar Pendidik
Baru-baru ini Rektor Universitas Negeri Medan(UNIMED) Prof. Dr. Syawal Gultom menyatakan; model pendidikan di sekolah saat ini belum belum mengeksplorasi dengan baik tentang karakter, potensi dan nalar. Bila kita cermati pernyataan ini, ujung dari persoalan tersebut pastilah Guru. Jika guru tidak mampu membelajarkan siswanya  memasuki ranah yang menunjukkan karakternya, sekaligus memperlihatkan potensinya, selanjutnya bisa bernalar sesuai dengan keadaan yang ada. Apa mungkin siswanya jadi seperti yang di inginkan?
Seharusnya semua calon guru yang masih mengeyam pendidikan di perguruan tinggi lebih dahulu di bekali metode dan model pembelajaran yang bisa secara alamiah di terapkan pada tataran pelaksanaan. Mereka di berikan stimulus-stimulus  yang menghasilkan respon menemukan model dan metode pembelajaran terbaru. Selama ini pendidikan calon guru di perguruan tinggi tidak lebih sama dengan perguruan tinggi non kependidikan. Penambahan paling pada ilmu yang terkait dengan teori-teori pendidikan. Yang sekali lagi tak akan pernah bisa di terapkan dengan kondisi yang ada. Pernah ketika penulis mengenyam pendidikan calon guru, seorang teman yang karena kesulitan biaya harus kuliah sambil kerja mengeluarkan pernyataan; mahasiswa paling bodoh pun, pasti akan lulus dari sini!”. Sori mori pak Rektor, pernyataan itu sekarang mulai terbukti bahkan mulai “merembes” di tingkat di bawahnya. Jadi untuk kedepan, perguruan tinggi yang menghasilkan calon guru seperti UNIMED  hendaknya lebih dahulu mengubah model dan metode pembelajarannya sebelum meluncurkan kurukulum baru. Agar terjadi sinkronisasi antara Kurikulum-Guru-kualiatas siswa. Ini penting untuk memperbesar jumlah 11% guru kreatif tadi. Dengan lebih dahulu menaikkan standar lulusan calon guru. Bahasa Semen Padang, kami berbuat sebelum anda memikirkan.
Standar Pengelolaan
Koreksi tentu saja jadi menu utama, saat membaca pernyataan diatas. Terutama tentang teori dan model pembelajaran yang tak akan pernah bisa di terapkan di sekolah atau madrasah. Kenapa demikian? Mari kita perhatikan standar pengelolaan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan No 19 Tahun 2007. Standar pengelolaan pendidikan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah adalah standar pengelolaan pendidikan untuk sekolah/madrasah yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
Terkait dengan perencanaan, otomatis yang di maksud adalah Kepala sekolah, Wakil Kepala dan dewan guru. Untuk pelaksanaan jelas berada di pundak guru sedangkan untuk pengawasan berada di tangan komite sekolah.
Ada pun tahapan-tahapan perencanaan meliputi; visi dan misi,tujuan,rencana kerja sekolah. Untuk pelaksanaan meliputi; Pedoman sekolah, struktur organisasi sekolah, pelaksana kegiatan,bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran dan sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya dan lingkungan serta kemitraan. Sedangkan Pengawasan meliputi; Program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi pengembangan KTSP, evaluasi pendayagunaan tenaga pendidik dan kependidikan dan akreditasi sekolah.
Dari ketiga tahapan tersebut, banyak poin-poin yang menitik beratkan masalah keterbukaan atau transparansi. Misalnya; bidang keuangan dan pembiayaan pada poin (d) menyatakan; Pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah disosialisasikan kepada seluruh warga sekolah/madrasah untuk menjamin tercapainya pengelolaan dana secara transparan dan akuntabel. Selain itu ada poin yang menyatakan wewenang dewan pendidik, salah satunya: Wakil kepala sekolah/madrasah dipilih oleh dewan pendidik, dan proses pengangkatan serta keputusannya, dilaporkan secara tertulis oleh kepala sekolah/madrasah kepada institusi di  atasnya. Dalam hal sekolah/madrasah swasta, institusi dimaksud adalah penyelenggara sekolah/madrasah. Kondisi saat ini, wakil Kepala sekolah selalu di plesetkan dengan Pembantu Kepala Sekolah(PKS) yang pengangkatan berdasarkan SK Kepala. Sehingga tak jarang PKS ini jadi “kacung” kepala.
Standar pengelolaan ini menekankan pentingnya dewan pendidik, yang porsi dan peranannya lebih kurang sama denga kepala Madrasah. Sayangnya, walau sejak 2007 di keluarkan. Belum ada satu sekolah pun yang menerapkan standar ini. Kenapa? Karena terlalu banyak faktor x yang menempatkan sesorang jadi kepala sekolah dan Madrasah, faktor x ini bahkan kerap menjadi alasan utama untuk mengambil kebijakan di sekolah/madrasah.  Jika hal ini yang terjadi model dan metode belajar mana yang bisa di terapkan? Jawabannya hanya satu model dan metode belajar X juga.
Kesimpulan
Akhirnya, setelah memperhatikan penjelasan yang serba terbatas diatas kita mulai mendapatkan penjelasan kenapa pendidikan kita seperti sekarang ini.  Faktor pertama penyebabnya tak lain adalah kualitas pendidik yang memiliki tingkat kreatifitas untuk meningkatkan mutu diri yang rendah. Kenapa bisa rendah? Karena guru atau pendidik kehilangan stimulus dari sekolah untuk meningkatkan kualitas, di sebabkan standar pengelolaan yang tak pernah di terapkan.

Sebagai regulator, kita mengharapkan pemerintah segera turun tangan untuk memeriksa kondisi ini. Standar pengelolaan ini harus bisa di lekatkan ke tiap sekolah/madrasah. Jangan lagi mengharapkan ini bisa di urus oleh pemerintah daerah/kementerian. Jika hal ini bisa berjalan, faktor x yang menjadi dasar pengelolaan bisa di eliminir dan dunia pendidikan kita tidak lagi berjalan menyamping. Almarhum Benyamin S benar kekacauan pasti ada “biangkeroknya”.(M. Ali Hasyimi)