(KN)Pernah dengar awal
keterbukaan di Cina? Ketika Cina menerapkan pemerintahan “tangan besi”, semua
media baik cetak dan elektronik di kontrol oleh pemerintah. Berita-berita yang
bersifat merugikan citra pemerintah di hambat untuk keluar saat kejadian. Paling
setelah sebulan atau dua bulan kemudian baru di lepas ke publik dan jadi berita
basi! Istilah jaman orde baru “stop press”, ada yang masih ingat? Ketika
terjadi banjir bandang di salah satu daerah di Cina saat itu, berita keluar
setelah sebulan kejadian, data pemerintah ribuan orang tewas. Saat kejadian
yang sama terulang lagi, ada pihak yang membocorkan ke publik. Pemerintah
kebakaran jenggot dan cepat merespon, data terakhir yang di keluarkan, korban
hanya puluhan saja! Begitulah pentingnya informasi, semakin cepat informasi
tiba di tangan publik, semakin cepat publik memutuskan untuk bersikap! Setelah
itu semakin cepat pula pemerintah merasa penting untuk merespon atau
mengabaikannya.
Masih segar ingatan kita, saat
aktivis Jopi Peranginangin yang tewas di kafe Venue Kemang(23/05), Jakarta
Selatan. Rekan-rekan beliau segera berkoordinasi di Kisaran. Bahkan lewat
Twitter @Kisaran News, terus mengawal
dengan rekan-rekan beliau sesama aktivis di Jakarta, dimana pada saat itu pihak
kepolisian terlihat sangat hati-hati. Karena
pelaku masih terkait dengan salah satu institiusi ABRI. Dan ternyata, aksi gila
nitizen dengan hastag #RIPJopi menjadi treding topik yang
secara tak langsung memberi presure terhadap POLRI, akhirnya pada minggu(24/05),
kita semua mendapatkan inisial pelaku dan istitusinya!
Gambaran diatas menunjukkan
betapa pentingnya, informasi yang ter “update”. Kasus pertama membuktikan
informasi yang cepat ternyata mampu meminimalkan korban jiwa. Sedangkan kasus
kedua, informasi ternyata bisa memberikan energi bagi badan atau lembaga untuk
bekerja lebih cepat dari yang seharusnya. Lalu informasi yang bagaimana yang
saat ini memiliki kategori paling uptodate ? Jawabannya kita sudah semua
paham(yang melek teknologi), yaitu twitter! Baru berikutnya facebook dan
seterusnya. Keduanya merupakan informasi dua arah, yang peranannya telah
menggantikan posisi berita, baik cetak dan elektronik. Inilah yang kemudian
kita kenal dengan istilah sosial media(socmed).
Individu-individu yang berniat
lurus untuk membangun peradaban, yang di dasari oleh ide dan program yang
jelas, pasti memerlukan saluran untuk memberitahu ide dan programnya agar
publik mengetahui. Di era socmed seperti sekarang, menggunakan baliho atau
sepanduk dengan ruang yang sangat terbatas, menjadikan kemasan ide yang ingin
di sampaikan menjadi sangat kuno! Artinya ide dan program hanya di arahkan pada
kalangan awam yang merekam lewat visual saja. Untuk kalangan yang lebih
meletakkan pada terobosan-terobosan baru, spesifik, jelas dan akurat, lewat media
jadul itu pasti tak akan pernah sampai seratus persen.
Oleh karena persoalan diatas,
iseng-iseng @KisaranNews mencoba mencari para balon bupati Asahan yang berjuang
untuk merebut orang nomor satu untuk periode 2015-2020 di twitter, ternyata
sampai jumat(30/05) belum ada satu akun
resmi yang berani menunjukkan; ini akun resmi balon bupati Asahan! Padahal kita
tahu, pilkada serentak yang telah di canangkan, tinggal enam bulan lagi!
Pertanyaan kita sekarang, apakah para balon bupati Asahan ini punya visi dan
misi untuk membangun Asahan? Atau sekedar untuk memiliki kekuasaan dan menumpuk
kekayaan? Entahlah. Yang jelas dengan ketiadaan akun para balon ini di twitter
dan facebook, menunjukkan mereka tak berani menjual ide dan programnya, yang
paling parah, mereka tak siap untuk mendapatkan tanggapan langsung dari
masyarakat! Khususnya masyarakat terdidik dan melek teknologi. Lalu pantaskah
kita menggantungkan harapan pada mereka? Sementara mereka terkesan
“menyembunyikan” diri? Mari kita tunggu balon-balon yang tidak anti social
media.