Friday, October 18, 2019

KPU ASAHAN HARUS BERI PENJELASAN!


Santernya duet bakal pasangan calon Nurhajizah-Henri Siregar di media facebook  berdampingan dengan Surya-Taufik dan Rosmansyah-Winda yang ingin bertarung di Pilkada Serentak Asahan 2020, seharusnya sudah mulai di “baca” oleh KPU Asahan.
Kenapa harus di baca KPU Asahan?
Pertarungan balon Bupati-wakil bupati Asahan pada medio 2020 mendatang agak sedikit berbeda dengan pertarungan-pertarungan priode sebelumnya. Pertarungan kali ini di ikuti oleh ibu Brigjen Nurhajizah Marpaung, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil gubernur Sumatera Utara, di priode sebelumnya mendampingi Tengku Erry Nurhadi, walau dengan durasi waktu kurang dari 2,5 Tahun.


Lalu apa ,masalahnya?
Seorang teman sempat membisikkan tentang ketentuan di UU No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum(PKPU) No. 9 Tahun 2015. Pada halaman 12 dan 13 PKPU tersebut terkait syarat dan siapa saja yang tidak boleh mencalon kan diri menjadi bupati di daerah.

Menurut salah seorang Komisioner KPU Pusat Hadar Nafis Gumay(JPPN,13/7) di salah satu situs berita online, mengatakan merujuk peraturan tersebut Gubernur atau mantan Gubernur tidak bisa mencalonkan diri pada pemilihan bupati/walikota.
Ia menjelaskan,” dalam undang-undang  diatur, pada dasarnya kepala daerah yang sudah punya posisi tinggi tidak boleh mencalonkan ke posisi rendah. Jadi gubernur atau mantan gubernur tidak bisa kebawah , hanya bisa sebagai calon gubernur sepajang belum dua kali.”
Di sisi lain para pengamat politik di Asahan, mengatakan hal tersebut tidak menyebutkan tentang posisi wakil gubernur, sehingga masih aman. Bahkan ada kabar, ketika hal ini di konfirmasi ke KPU Asahan kabarnya juga demikian. Artinya di bolehkan. Apa benar demikian? Ini masih memerlukan konfirmasi dari lembaga tersebut.

Kembali pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum(PKPU) No. 9 Tahun 2016(perubahan) , tepatnya pasal 4 tentang siapa-siapa saja yang boleh mencalon jadi Gubernur-wakil, Bupati-wakil dan Walikota-wakil. Khususnya ayat (1). Perhatian kita harus di fokuskan pada butir m dan n. Pada butir n(kecil), di awali dengan kalimat; belum pernah menjabat sebagai :
1.       Gubernur bagi calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon Walikota atau wakil walikota di daerah yang sama
2.       Wakil Gubernur bagi calon bupati, calon wakil bupati. Calon walikota calon wakil walikota di daerah yang sama.....
Jika memperhatikan kalimat tersebut jelas, posisi ibu Brigjen Nurhajizah, terkena dengan peraturan tersebut. Hal ini perlu penjelasan dari pihak-pihak yang berhak dan legal menterjemahkan, sehingga bisa di jadikan pengangan untuk ibu Nurhajizah dengan pasangannya. Maju terus atau membatalkan berpasangan secara elegan, mengingat belum sampai pada pendaftaran di KPU Asahan.
Untuk itu pihak KPU Asahan harus pro aktif mensikapi hal ini, kita tidak mau ibu Nurhajizah dan pasangannya sudah bersusah payah untuk mempopularkan diri, bersusah payah meningkatkan elektabilitas yang membutuhkan dana besar dan mengorbankan waktu, ternyata gagal di akhir cerita. Ini semakin mengharu biru misalnya beliau dan pasangannya memenangkan pemilihan lalu di batalkan karena hal ini.

Tuesday, October 15, 2019

PIRAMIDA PERSEPSI UMAT ISLAM: KEPEMIMPINAN?


Berkaca pada Pilpres 2018, dimana kita yang mengaku bangsa besar, hanya melahirkan dua pasang calon yaitu Jokowi-Makruf dan Probowo-Sandiaga( seperti tak ada alternatip lain?). Lalu kita pun disuguhi drama haru biru yang akhirnya di menangkan mantan walikota solo tersebut!
Bila kita telusuri partai asal kedua pasang calon presiden yang ada, maka motornya pun di dominasi partai Nasionalis yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan partai gerakan Indonesia raya(Gerindra), pertanyaannya di manakah partai Islam?
Partai Islam dalam hal ini, kita asumsikan sebagai partai berazas Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Untuk partai berazas Islam di wakili Partai Keadilan Sejahtera(PKS) sedangkan Partai berbasis massa Islam di wakili oleh; Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Bulan Bintang(PBB) dan lain-lain.  Empat di antaranya berhasil lolos Parlementary Thershold. Artinya umat Islam sudah punya modal untuk melakukan sesuatu, terutama untuk menentukan calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun ditingkat pusat pada  dua sampai lima tahun mendatang.
Kita tak akan membicarakan hasil Pilpres yang baru lalu, di mana umat Islam yang mayoritas di nusantara ini gagal menyalurkan aspirasi untuk melahirkan satu pasang calon presiden dari Partai Islam seperti yang di maksud diatas. Kegagalan itu mungkin saja di sebabakan terlalu banyaknya pikiran umat Islam yang mau di akomodir dari sabang sampai Meurauke yang memiliki karakter dan situasional yang berbeda. Padahal jika umat Islam cukup di wakili pengurus mesjid di seluruh Indonesia saja membuat pernyataan bersama untuk menolak memilih partai Islam jika tidak bisa melahirkan satu pasang calon, pasti partai-partai Islam itu akan bergetar hatinya! Coba bayangkan lagi jika semua perwakilan organisasi massa Islam atau pengajian melakukan hal yang sama?
Melakukan hal yang sama?
 Apa Mungkin?

Untuk pertanyaan besar  dari umat Islam untuk umat Islam, terefleksi dari yang sudah terjadi ternyata pada tingkat pemikiran individu sampai tingkat pemikiran pengajian, kita sulit untuk mendapatkan cara pandang yang sama untuk kepentingan bersama. Hal ini mungkin disebabkan oleh dimensi yang cukup luas dan punya unsur-unsur penyusun juga berbeda bahkan masuk dalam kelompok splinter group( Istilah Gusdur). Kita harus punya tenaga dorong dari luar yang bisa mempengaruhi cara pikir yang telah tersistem ini dan men dobraknya, sehingga muncul cara pikir baru yang memiliki kesamaan atas satu macam persoalan saja. Sebagai contoh, sama dalam hal menentukan calon pemimpin, untuk yang paling  dekat pada Pilkada serentak 2020. Jika ini bisa kita wujudkan setidaknya umat Islam sudah masuk pada tataran Mustaddhaafin, generasi tercerahkan. Seperti di gagas Ali Syariati saat menggerakkan revolusi Islam Iran menjatuhkan Syah Pahlevi pada tahun 1979.
Generasi tercerahkan ini memiliki pondasi cara pandang  yang sama atas persoalan umat yang dianggap krusial, tidak harus berusaha memberikan solusi atas segala masalah yang timbul, tapi berusaha menyelesaikan satu masalah secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan. Sehingga pada simpul masalah tersebut yang telah di “bedah” sedemikian hingga dapat menyembuhkan penyakit (masalah) yang ada. Sampai di titik ini harusnya dengan beragam berbedaan yang kita miliki kita mulai lah menyamakan persepsi atas kepemimpinan. Dimana dalam kepemimpinan tersebut nilai-nilai Islam harus terkristalisasi sehingga menjadi dasar aktualisasi saat mendapat mandat Illahi untuk jadi pemimpin! Sekaligus menyadari kita sudah di bingkai dengan dasar negara Pancasila. Jadi buang niat mendirikan negara diatas negara, tapi berniatlah untuk jadi rahmatan lil alamin bagi negara. Dan jadikan Negara menjadi ladang kita beramal! Karena nilai-nilai keIslaman tidak pernah di batasi oleh Negara, etnis , daerah, laut atau tembok besar sekalipun! Ia melopati itu semua....
Memiliki pemikiran yang sama, terhadap satu persoalan saja. Sebenarnya sudah cukup jadi tenaga penggerak(Power) untuk memperbaharui cara berpikir umat Islam sehingga masuk dalam kategori generasi yang tercerahkan. Ini bisa kita rujuk pada piramida taksonomi pada biologi.  Tentang klasifikasi makhluk hidup! Di mana semakin tinggi klasifikasinya, maka semakin banyak persamaan semakin sedikit perbedaan, sebaliknya pada tingkat yang paling rendah semakin sedikit persamaan semakin banyak perbedaan.  Namun hal yang terlihat gampang menjadi masalah yang sangat besar ketika bercampur dengan bermacam-macam kepentingan terkait pribadi, kelompok dan kepentingan-kepentingan lain.
Oleh karena pada tataran individu itu sangat sulit di pandang dari sudut kuantitas, maka umat Islam mencoba mendekatkan persamaan dengan masuk dalam organisasi massa atau pun politik. Sebenarnya, Muhammadiyah, NU, Alwasliyah, Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Keadilan Sejahtera(PKS), Partai Amanat Nasional(PAN),Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) dsb  merupakan wadah menyatukan persepsi individu dalam kelompok. Sehingga terjadi kristalisasi persepsi umat Islam yang jelas dan terlihat di permukaan dan masih bisa kita hitung dengan jari yang ada! Kita mengharapkan, kristalisasi persepsi yang sudah nampak ini bisa mengerucut pada satu pandangan yang sama  dengan terus berusaha untuk mengkomunikasikan pada invidu dibawah yang mereka wadahi.
 Pola ini seperti piramida  dimana pada dasar persepsi adalah persepsi Umat yang di wakili individu, pada level di atasnya persepsi Individu yang beragam terwadahi pada organisasi massa(Ormas) atau Partai Politik(Parpol), lalu kita mengharapkan Ormas dan Parpol ini bisa bersinergi dengan membuat satu persepsi yang terkristal, misalnya tentang kepemimpinan. Baik Nasional maupun daerah.

PIRAMIDA PERSEPSI UMAT ISLAM: KEPEMIMPINAN?


Berkaca pada Pilpres 2018, dimana kita yang mengaku bangsa besar, hanya melahirkan dua pasang calon yaitu Jokowi-Makruf dan Probowo-Sandiaga( seperti tak ada alternatip lain?). Lalu kita pun disuguhi drama haru biru yang akhirnya di menangkan mantan walikota solo tersebut!
Bila kita telusuri partai asal kedua pasang calon presiden yang ada, maka motornya pun di dominasi partai Nasionalis yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan partai gerakan Indonesia raya(Gerindra), pertanyaannya di manakah partai Islam?
Partai Islam dalam hal ini, kita asumsikan sebagai partai berazas Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Untuk partai berazas Islam di wakili Partai Keadilan Sejahtera(PKS) sedangkan Partai berbasis massa Islam di wakili oleh; Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Bulan Bintang(PBB) dan lain-lain.  Empat di antaranya berhasil lolos Parlementary Thershold. Artinya umat Islam sudah punya modal untuk melakukan sesuatu, terutama untuk menentukan calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun ditingkat pusat pada  dua sampai lima tahun mendatang.
Kita tak akan membicarakan hasil Pilpres yang baru lalu, di mana umat Islam yang mayoritas di nusantara ini gagal menyalurkan aspirasi untuk melahirkan satu pasang calon presiden dari Partai Islam seperti yang di maksud diatas. Kegagalan itu mungkin saja di sebabakan terlalu banyaknya pikiran umat Islam yang mau di akomodir dari sabang sampai Meurauke yang memiliki karakter dan situasional yang berbeda. Padahal jika umat Islam cukup di wakili pengurus mesjid di seluruh Indonesia saja membuat pernyataan bersama untuk menolak memilih partai Islam jika tidak bisa melahirkan satu pasang calon, pasti partai-partai Islam itu akan bergetar hatinya! Coba bayangkan lagi jika semua perwakilan organisasi massa Islam atau pengajian melakukan hal yang sama?
Melakukan hal yang sama?
 Apa Mungkin?

Untuk pertanyaan besar  dari umat Islam untuk umat Islam, terefleksi dari yang sudah terjadi ternyata pada tingkat pemikiran individu sampai tingkat pemikiran pengajian, kita sulit untuk mendapatkan cara pandang yang sama untuk kepentingan bersama. Hal ini mungkin disebabkan oleh dimensi yang cukup luas dan punya unsur-unsur penyusun juga berbeda bahkan masuk dalam kelompok splinter group( Istilah Gusdur). Kita harus punya tenaga dorong dari luar yang bisa mempengaruhi cara pikir yang telah tersistem ini dan men dobraknya, sehingga muncul cara pikir baru yang memiliki kesamaan atas satu macam persoalan saja. Sebagai contoh, sama dalam hal menentukan calon pemimpin, untuk yang paling  dekat pada Pilkada serentak 2020. Jika ini bisa kita wujudkan setidaknya umat Islam sudah masuk pada tataran Mustaddhaafin, generasi tercerahkan. Seperti di gagas Ali Syariati saat menggerakkan revolusi Islam Iran menjatuhkan Syah Pahlevi pada tahun 1979.
Generasi tercerahkan ini memiliki pondasi cara pandang  yang sama atas persoalan umat yang dianggap krusial, tidak harus berusaha memberikan solusi atas segala masalah yang timbul, tapi berusaha menyelesaikan satu masalah secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan. Sehingga pada simpul masalah tersebut yang telah di “bedah” sedemikian hingga dapat menyembuhkan penyakit (masalah) yang ada. Sampai di titik ini harusnya dengan beragam berbedaan yang kita miliki kita mulai lah menyamakan persepsi atas kepemimpinan. Dimana dalam kepemimpinan tersebut nilai-nilai Islam harus terkristalisasi sehingga menjadi dasar aktualisasi saat mendapat mandat Illahi untuk jadi pemimpin! Sekaligus menyadari kita sudah di bingkai dengan dasar negara Pancasila. Jadi buang niat mendirikan negara diatas negara, tapi berniatlah untuk jadi rahmatan lil alamin bagi negara. Dan jadikan Negara menjadi ladang kita beramal! Karena nilai-nilai keIslaman tidak pernah di batasi oleh Negara, etnis , daerah, laut atau tembok besar sekalipun! Ia melopati itu semua....
Memiliki pemikiran yang sama, terhadap satu persoalan saja. Sebenarnya sudah cukup jadi tenaga penggerak(Power) untuk memperbaharui cara berpikir umat Islam sehingga masuk dalam kategori generasi yang tercerahkan. Ini bisa kita rujuk pada piramida taksonomi pada biologi.  Tentang klasifikasi makhluk hidup! Di mana semakin tinggi klasifikasinya, maka semakin banyak persamaan semakin sedikit perbedaan, sebaliknya pada tingkat yang paling rendah semakin sedikit persamaan semakin banyak perbedaan.  Namun hal yang terlihat gampang menjadi masalah yang sangat besar ketika bercampur dengan bermacam-macam kepentingan terkait pribadi, kelompok dan kepentingan-kepentingan lain.

Oleh karena pada tataran individu itu sangat sulit di pandang dari sudut kuantitas, maka umat Islam mencoba mendekatkan persamaan dengan masuk dalam organisasi massa atau pun politik. Sebenarnya, Muhammadiyah, NU, Alwasliyah, Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Keadilan Sejahtera(PKS), Partai Amanat Nasional(PAN),Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) dsb  merupakan wadah menyatukan persepsi individu dalam kelompok. Sehingga terjadi kristalisasi persepsi umat Islam yang jelas dan terlihat di permukaan dan masih bisa kita hitung dengan jari yang ada! Kita mengharapkan, kristalisasi persepsi yang sudah nampak ini bisa mengerucut pada satu pandangan yang sama  dengan terus berusaha untuk mengkomunikasikan pada invidu dibawah yang mereka wadahi.
 Pola ini seperti piramida  dimana pada dasar persepsi adalah persepsi Umat yang di wakili individu, pada level di atasnya persepsi Individu yang beragam terwadahi pada organisasi massa(Ormas) atau Partai Politik(Parpol), lalu kita mengharapkan Ormas dan Parpol ini bisa bersinergi dengan membuat satu persepsi yang terkristal, misalnya tentang kepemimpinan. Baik Nasional maupun daerah.