Bila kita refleksikan kembali
pada pertemuan pertama Argentina versus Chile di penyisihan grup Copa Amerika
Centenario, di mana Messi dan kawan-kawan dapat menaklukan Chile dengan skor
2-1, maka pada partai final Argentina yang tampil tak lebih setengah dari babak
tersebut. Argentina bermain tak punya visi dan keberanian, ini sangat jauh
berbeda dengan Chile, lalu apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah ancaman
Maradona agar timnas Argentina tidak usah pulang jika gagal berpengaruh? Mari
kita leihat dari persefektif tim.
Pada partai final, begitu
berjalan tujuh menit kita sebagai pecinta bola tersadar bahwa Argentina yang
tampil tidak lagi argentina sebagai tim, melainkan tim Tango yang terdiri dari
individu-individu termasuk individu super, yaitu Leonel Messi. Ketergantungan
Argentina terhadap Messi, seperti menyihir rekan-rekannya yang sepuluh orang
lagi untuk menunggu apa yang di lakukan Messi. Messi seperti dirijen yang di
tunggu untuk melakukan apa, sementara yang lain bersifat menunggu. Kondisi ini sangat
berbeda pada fase grup, Di Maria dan Gaitan seperti tidak melihat Messi sebagai
individu super, mereka spartan terus menerus berlari membuka ruang ketika Messi
di apit tiga sampai empat pemain Chile. Di titik ini peranan Messi sebagai
dirijen tidak begitu tampak, tapi berdampak bagi seluruh tim.
Lain cerita di partai final, Di
Maria yang diharapkan berperan seperti pada fase grup ternyata kakinya seperti “kaku”,
ia jarang berlari membuka ruang, bahkan cenderung tidak mau mendahului Messi
dalam mendistribusikan bola sama dengan pemain Argentina lainnya. Mereka
menunggu, sehingga acap kali terlihat bola sodoran Messi terlambat di jangkau,
yang paling menyedihkan ketika Messi di apit oleh empat pemain. Rekannya yang
lain menunggu berharap bolanya bisa di olah Messi dan lolos dari kawalan empat
pemain Chile. Di sinilah letak kesalahan pertama, persentase Messi dapat
melewati empat lawannya jauh lebih kecil dari mereka mampu merebut bola dari
Messi. Kondisi seperti ini berlangsung dalam 2 x 45 menit. Di lain pihak Gaitan
tidak hadir di lapangan.
Lalu di mana peran Gerardo
Martino sebagai pelatih? Dari pendekatan taktik dan strategi pelatih Argentina
ke sekian ini di era Messi juga tidak punya konsep yang jelas. Ia menyerahkan
seluruh pertandingan kepada Messi. Ia tak mampu meyakinkan rekan-rekan Messi di
tim, memiliki kedudukan yang sama seperti Leo. Ia tetap membentuk Messi sebagai
center permainan, yang sudah di pahami oleh semua lawan mereka. Situasi seperti ini menyebabkan visi bermain
rekan Messi, seperti “under estimate”. Meraka seakan tak mampu tanpa bintang
mereka. Kun Aguero sampai tidak bisa melihat posisi Marcado yang bebas tanpa
kawalan di sisi kanan penyerangan begitu mendapat bola sodoran Messi. Ia
memaksa untuk melepaskan tendangan dengan dua lawan mendekati. Ini bukti visi
bermain Aguero tak lebih baik dari pemain di tarkam ketika di final.
Ini jauh berbeda dengan di
Barcelona, di club ini. Messi tidak sendiri. Ada tiga sampai lima pemain yang
terus membuka ruang; Iniesta, Neymar, Suarez, Pedro dan Ivan Rakitic serta
pemain Barca lainnya, tidak terlalu ambil pusing dengan kehebatan Messi secara
individu. Mereka ketika bermain tidak terpengaruh oleh itu. Mereka terus
menerus bermain sebagai tim. Walau sesekali memberi ruang untuk Messi
menunjukkan magic nya. Disinilah letak fundamental pemain Argentina dengan
pemain Barca, yang nota bene adalah pemain Eropah khususnya Spanyol. Pemain timnas
Argentina mentalnya masih seperti “supporting actor”. Sedangakan pemain Barca
menempatkan dirinya sama dengan Messi, pemain utama. Seharusnya kenyataan ini
sudah di sadari (Tata) Martino, mengingat ia pernah jadi pelatih tim catalan
tersebut.
Jadi kesimpulannya, agar
Argentina kedapan bisa sukses bersama Messi sepuluh pemain yang lain harus bisa
mengubah mental “supporting actor” , punya visi bermain sebagai tim. Serta
pelatih yang mumpuni dan mengerti karakter pemain masing-masing. Sifat
angin-anginan bukan kawan yang tepat untuk Messi, terutama di turnamen besar
yang memerlukan kesiapan dan fokus! Ini semua lepas dari pernyataan, Leo bahwa
timnas bukan tempatnya lagi! Jangan emosi……….kegagalan pinalti bisa di alami
semua pemain super.