(KN) Waktu itu sekitar jam empat sore. Ada sekitar
delapan orang anak esema kelas satu lagi asyik bermain di jam sekolah. Mereka
bermain di rumah salah seorang diantara yang berdelapan, di kelurahan Gambir
baru. Ada yang asyik nonton film VHS, Hell Bond nya Chuck Norris ada yang main
Dam sambil belajar merokok dan sesekali terbatuk-batuk. Setelah batangan rokok mendekati filter yang
berwarna coklat, putung rokok itu pun melayang melewati jendela, jatuh di
halaman samping.
Kelakuan seperti ini, hampir tiap bulan setelah
sebulan masuk di kelas satu. Ketika itu ada kebijakan sekolah yang mengharuskan
setiap siswa harus membayar uang sekolah sebelum tanggal sepuluh tiap bulannya.
Jika lewat, yang belum bayar akan di pulangkan oleh wakil bidang kesiswaan. Jadi
dengan kesepakatan para lelaki di kelas satu lapan yang masuk siang, mereka
akan bayar uang sekolah setiap tanggal tiga belas. Artinya ada dua hari mereka
akan di pulangkan di awal jam pelajaran, sekitar jam setengah dua siang. Lewat menejemen
nakal, mereka menyusun kelender rumah siapa saja yang di kunjungi setiap
bulannya. Pas bulan itu, rumah yang di
kunjungi oleh “brandal” satu lapan ini, rumah Jopi Teguh Lesmana Peranginangin.

Belum satu jam menikmati film, tiba-tiba saja
hidungku mencium sesuatu yang terbakar. Mata ku memutar pandangan keseluruh
ruangan tamu rumah yang berdinding papan sederhana. Tak ada satu pun percikan
api, kecuali asap yang mengepul dari luar jendela. Teman yang lain lagi asyik
dengan kartunya sambil berteriak-teriak. Gak masuk akal, tapi begitulah efek
kartu yang mereka pegang!
Aku masih
penasaran dengan asap yang mengepul dari luar rumah. Dengan santai aku mencoba
melihat lewat jendela. Alangkah kagetnya, saat terlihat sebuah tilam yang sedang di jemur di samping
dalam keadaan terbakar perlahan di bagian tengah, yang sudah berlobang
sepelukan orang dewasa. Dengan sedikit nakal ku dekati Syahril, yang sekarang
jadi juragan ayam potong di pajak. Untuk kabur dengan pura-pura beli rokok
ketengan ke kedai. Soalnya yang dari tadi hanya menonton video vhs hanya kami
berdua, yang enam lagi asyik dengan kartu domino.
“ woi, kami carik rokok dulu.”
“ Kompil jangan lupa sebungkus.” Teriak Maskut
“ ok.”
Gak lama kemudian kami telah menjauhi rumah Jopi
dengan mengendarai sepeda MTB, berboncengan menuju rumah ku, selanjutnya
Syahril pulang sendiri dengan sepedanya menuju rumah. Dalam hati pasti besok
ada yang ribut di sekolah, siapa itu? Bisa di tebakkan ?
Dugaan ku tak meleset. Sebelum apel siang masuk
sekolah, Jopi datang sambil memaki-maki! Ia bilang kami semua kurang ajar.
Pulang diam-diam sementara tilam tetangganya terbakar akibat puntung rokok!
Kami semua terkekeh-kekeh sambil menepuk bahunya untuk minta maaf.
“ Iya, mamak ku yang mengganti rugi.” Ucapnya agak
merendah, begitu bel apel berkumandang.
Kejadian itu, terjadi di medio tahun 1991, saat itu
kami berada di kelas satu delapan SMAN 2 Kisaran Kabupaten Asahan. Mungkin itu
juga menjadi titi balik Jopi, teman kami itu, menjadi seorang aktivis dan
memulainya dari Universitas Tadulako, yang tak terbayang sebelumnya untuk di
jadikan almamater selanjutnya. Ia agak berbeda dari kami kebanyakan yang
memilih USU dan IKIP Medan untuk tahapan pendidikan selanjutnya.
Di tiga tahun kebelakangan, Jopi(@Redjopi , di
twitter) yang telah menjadi aktivis Masyarakat Adat di Jakarta dan telah
menjelajahi sudut-sudut Indonesia, masih menyempatkan diri untuk ngumpul tiap
lebaran kedua di kota Kisaran. Biasanya kami begadang sampai subuh sambil
ngarol ngidul.
Sayang, mulai lebaran 2015 ini kesempatan ngumpul
di lebaran kedua di cafe fahri seperti tidak akan lengkap lagi. Jopi, teman
kami itu telah pergi ke pangkuan Tuhan oleh sekelompok pengecut di Cafe Venue
Kemang, Jakarta Selatan. Jam 04 Pagi, Sabtu 23 Mei 2015! Dua bulan sebelum
lebaran, Selamat jalan kawan.......(M.Ali Hasyimi)
No comments:
Post a Comment