Berkaca pada Pilpres 2018, dimana
kita yang mengaku bangsa besar, hanya melahirkan dua pasang calon yaitu
Jokowi-Makruf dan Probowo-Sandiaga( seperti tak ada alternatip lain?). Lalu
kita pun disuguhi drama haru biru yang akhirnya di menangkan mantan walikota
solo tersebut!
Bila kita telusuri partai asal
kedua pasang calon presiden yang ada, maka motornya pun di dominasi partai
Nasionalis yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan partai gerakan
Indonesia raya(Gerindra), pertanyaannya di manakah partai Islam?
Partai Islam dalam hal ini, kita
asumsikan sebagai partai berazas Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Untuk
partai berazas Islam di wakili Partai Keadilan Sejahtera(PKS) sedangkan Partai
berbasis massa Islam di wakili oleh; Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai
Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Bulan Bintang(PBB)
dan lain-lain. Empat di antaranya
berhasil lolos Parlementary Thershold. Artinya umat Islam sudah punya modal
untuk melakukan sesuatu, terutama untuk menentukan calon pemimpin baik di
tingkat daerah maupun ditingkat pusat pada
dua sampai lima tahun mendatang.
Kita tak akan membicarakan hasil
Pilpres yang baru lalu, di mana umat Islam yang mayoritas di nusantara ini
gagal menyalurkan aspirasi untuk melahirkan satu pasang calon presiden dari
Partai Islam seperti yang di maksud diatas. Kegagalan itu mungkin saja di
sebabakan terlalu banyaknya pikiran umat Islam yang mau di akomodir dari sabang
sampai Meurauke yang memiliki karakter dan situasional yang berbeda. Padahal
jika umat Islam cukup di wakili pengurus mesjid di seluruh Indonesia saja
membuat pernyataan bersama untuk menolak memilih partai Islam jika tidak bisa
melahirkan satu pasang calon, pasti partai-partai Islam itu akan bergetar
hatinya! Coba bayangkan lagi jika semua perwakilan organisasi massa Islam atau
pengajian melakukan hal yang sama?
Melakukan hal yang sama?
Apa Mungkin?
Untuk pertanyaan besar dari umat Islam untuk umat Islam, terefleksi
dari yang sudah terjadi ternyata pada tingkat pemikiran individu sampai tingkat
pemikiran pengajian, kita sulit untuk mendapatkan cara pandang yang sama untuk
kepentingan bersama. Hal ini mungkin disebabkan oleh dimensi yang cukup luas
dan punya unsur-unsur penyusun juga berbeda bahkan masuk dalam kelompok
splinter group( Istilah Gusdur). Kita harus punya tenaga dorong dari luar yang
bisa mempengaruhi cara pikir yang telah tersistem ini dan men dobraknya,
sehingga muncul cara pikir baru yang memiliki kesamaan atas satu macam
persoalan saja. Sebagai contoh, sama dalam hal menentukan calon pemimpin, untuk
yang paling dekat pada Pilkada serentak
2020. Jika ini bisa kita wujudkan setidaknya umat Islam sudah masuk pada
tataran Mustaddhaafin, generasi
tercerahkan. Seperti di gagas Ali Syariati saat menggerakkan revolusi Islam
Iran menjatuhkan Syah Pahlevi pada tahun 1979.
Generasi tercerahkan ini memiliki
pondasi cara pandang yang sama atas
persoalan umat yang dianggap krusial, tidak harus berusaha memberikan solusi
atas segala masalah yang timbul, tapi berusaha menyelesaikan satu masalah
secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan. Sehingga pada simpul masalah
tersebut yang telah di “bedah” sedemikian hingga dapat menyembuhkan penyakit
(masalah) yang ada. Sampai di titik ini harusnya dengan beragam berbedaan yang
kita miliki kita mulai lah menyamakan persepsi atas kepemimpinan. Dimana dalam
kepemimpinan tersebut nilai-nilai Islam harus terkristalisasi sehingga menjadi
dasar aktualisasi saat mendapat mandat Illahi untuk jadi pemimpin! Sekaligus
menyadari kita sudah di bingkai dengan dasar negara Pancasila. Jadi buang niat
mendirikan negara diatas negara, tapi berniatlah untuk jadi rahmatan lil alamin
bagi negara. Dan jadikan Negara menjadi ladang kita beramal! Karena nilai-nilai
keIslaman tidak pernah di batasi oleh Negara, etnis , daerah, laut atau tembok
besar sekalipun! Ia melopati itu semua....
Memiliki pemikiran yang sama,
terhadap satu persoalan saja. Sebenarnya sudah cukup jadi tenaga
penggerak(Power) untuk memperbaharui cara berpikir umat Islam sehingga masuk
dalam kategori generasi yang tercerahkan. Ini bisa kita rujuk pada piramida
taksonomi pada biologi. Tentang
klasifikasi makhluk hidup! Di mana semakin tinggi klasifikasinya, maka semakin
banyak persamaan semakin sedikit perbedaan, sebaliknya pada tingkat yang paling
rendah semakin sedikit persamaan semakin banyak perbedaan. Namun hal yang terlihat gampang menjadi masalah
yang sangat besar ketika bercampur dengan bermacam-macam kepentingan terkait pribadi,
kelompok dan kepentingan-kepentingan lain.
Oleh karena pada tataran individu
itu sangat sulit di pandang dari sudut kuantitas, maka umat Islam mencoba
mendekatkan persamaan dengan masuk dalam organisasi massa atau pun politik.
Sebenarnya, Muhammadiyah, NU, Alwasliyah, Partai Persatuan Pembangunan(PPP),
Partai Keadilan Sejahtera(PKS), Partai Amanat Nasional(PAN),Partai Kebangkitan
Bangsa(PKB) dsb merupakan wadah
menyatukan persepsi individu dalam kelompok. Sehingga terjadi kristalisasi
persepsi umat Islam yang jelas dan terlihat di permukaan dan masih bisa kita
hitung dengan jari yang ada! Kita mengharapkan, kristalisasi persepsi yang
sudah nampak ini bisa mengerucut pada satu pandangan yang sama dengan terus berusaha untuk mengkomunikasikan
pada invidu dibawah yang mereka wadahi.
Pola ini seperti piramida dimana pada dasar persepsi adalah persepsi
Umat yang di wakili individu, pada level di atasnya persepsi Individu yang
beragam terwadahi pada organisasi massa(Ormas) atau Partai Politik(Parpol),
lalu kita mengharapkan Ormas dan Parpol ini bisa bersinergi dengan membuat satu
persepsi yang terkristal, misalnya tentang kepemimpinan. Baik Nasional maupun
daerah.
No comments:
Post a Comment