Seminggu terakhir media massa
lokal baik berbasis kertas dan elektroknik ramai memberitakan tentang
pernyataan Amien Rais terkait bagi-bagi sertifikat tanah(PRONA) yang di lakukan
Badan Pertanahan Nasional(BPN) di masa pemerintahan Jokowi saat ini. Serta
pernyataan Prabowo terkait Indonesia bubar di tahun 2030.
Melihat dari plintiran media,
omongan Amien Rais tentang bagi-bagi sertifikat di kaitkan dengan “ngibulnya”
Jokowi pada rakyat. Alasan ngibul ini berdasarkan urutan-urutan kegiatan yang
di butuhkan untuk mensyahkan kepemilikan tanah memerlukan waktu yang lama,
mulai dari sejarah sampai keluar akta pengesahan dan BPN, di khawatirkan tidak
cukup ruang untuk Jokowi menuntaskan persoalan itu. Jadi proyek sertifikasi
tanah, menurut Mantan Ketua MPR tersebut sebuah kebohongan alias “ngibul”.
Amien kemudian menyoroti
persoalan kepemilikan tanah yang banyak di miliki oleh pemodal-pemodal asing
yang seharusnya menjadi hal urgen untuk di atasi. Karena hal tersebut
menyangkut kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara.
Komentar Mas Amien Rais bila di
lihat dari sisi ekonomi jelas, sebuah kekeliruan pemikiran. Orang
sekaliber Amin seperti lupa bahwa
perekonomian kita saat ini dominan di topang oleh sektor pajak. Ketika minyak
bumi sudah tidak bisa di andalkan, maka mau tau mau kita mencari solusi
internal untuk pembiayaan negara. Sedangkan sektor-sektor lain belum bisa di
andalkan sebagai bentuk peninggalan pemerintah sebelumnya-sebelumnya. Masih
ingat kasus Busang? Di situ peran Amien Rais cukup menonjol atas terbongkarnya
investasi bodong di sektor penambangan emas. Itu riil ekonomi.
Di jaman kekinian, perhatian
Amien atas persoalan ekonomi sepertinya mulai memudar. Indikasi peningkatan
sumber pendapatan pajak, bisa di lihat dari banyak pemilik tanah mendaftarkan
kepemilikannya kepada negara. Sampai-sampai banyak di kalangan masyarakat yang
tidak sepenuhnya mau mengikuti PRONA tersebut dengan maksud menghindari
pengeluaran atas tanah yang di milikinya mengalahkan ringanya biaya untuk
mendapatkan akta tanah( gratis?). Jadi anggapan pemerintah gagal melakukan sertifikasi tanah juga di
dukung oleh cara berpikir masyarakat yang belum sadar pajak.
Untuk kedaulatan Negara, dengan
adanya sertifikasi kepemilikan tanah. Diharapkan pemerintah lebih mudah
mendapatkan data kepemilikan tanah oleh orang asing agar lebih mudah memantau
dan mengontrolnya. Lalu di mana ruginya program ‘ngibul” Jokowi ini?
Menurut Budiman Sujatdmiko,
politikus PDI-P. Kritik Amien Rais tentang sertifikasi tanah yang di plintir media
jadi “ngibul Jokowi” merupakan kritik yang tidak berdasarkan logika. Jadi
menurutnya kritik ini tidak usah di tanggapi serius. Ia mengatakan komentar
para penggiat media sosial atas pernyataan Amien ini di tanggapi dengan
hahahahihihi....., bahkan salah seorang pentinggi PAN di salah satu stasiun TV
swasta mengatakan kritik Amien bukan terkait politik. Jadi benar gak perlu di
tanggapi serius? Tapi reaksi masyarakat bermunculan dengan bermacam tanda tanya
yang meresahkan. Kritik Amien sebenarnya sukses membuat masyarakat gelisah,
resah dan berpotensi melunturkan logika!
Lain lagi dengan komentar Prabowo
yang mengatakan Indonesia bubar di tahun 2030. Pernyataan yang di keluarkan
Prabowo ini seolah-olah melegetimasi bahwa hanya Prabowo yang bisa mencegah hal
itu terjadi. Tokoh yang namanya Prabowo ini beranggapan ia identik dengan orang
kuat, punya kecakapan militer, memiliki dukungan finasial yang mumpuni dan
punya kebijaksanaan sekelas Gajah Mada, maka tak heran banyak pendukungnya menyamakan
beliau dengan Soekarno( tambah kecil di belakangnya). Sekali lagi apakah ini
sesuai dengan logika? Tentu tidak! Ini hanya sebuah prediksi. Bahkan setelah di
desak mengenai alasan pernyataan ini di keluarkan, ia mengakui kalau pernyataan
tersebut di peroleh dari sebuah cerita fiksi. Lalu apa yang kita peroleh? Tak
lebih sama dengan peryataan Amien, menimbulkan keresahan, kegundahan dan
berpotensi menggerus logika.
Bercermin dari kritik dan
pernyataan kedua tokoh Nasional tersebut, yang di sinyalir para pendukungnya
tidak terkait politik. Tapi cukup meresahkan secara nasional, karena terus di
eksploitasi di media sosial dan elektronik sehingga terjadi
penguatan-penguatan. Prediksi Indonesia bubar di tahun 2030 sepertinya akan
berakselarasi lebih cepat. Jika indikasi-indikasi komentar Tokoh-tokoh Nasional
terus bermuara pada samudera keresahan di masyarakat, bukan tanpa alasan jika
Indonesia berpotensi bubar di tahun 2019. Dan itu terjadi karena ambisi politik
pribadi atau golongan yang berada diatas kelangsungan Negara ini dan arena pertarungannya di PilPres mendatang,
secara logika.
Ambisi-ambisi ini baik pribadi
atau golongan(vested interst group) yang ingin mendapatkan kekuasaan dengan
kritik dan komentar yang menimbulkan keresahan dimasyarakat. Lalu dengan
keresahan yang timbul di harapkan mengikis logika kita , yang selanjutnya
menimbulkan perasaan yang sama dan kemudian memilih mereka. Sama sekali tidak
menunjukkan mereka negarawan yang hebat. Atau setidak-tidaknya kita bisa
mengatakan tokoh yang seperti itu, ingin membangun kekekuasaannya atas landasan
perasaan?
Itu tidak akan terwujud jika
kita, masyarakat awam sebahagian besar tidak terhanyut dan terbawa arus
pemikiran tanpa logika ini. Biarlah pemikiran-pemikiran seperti ini terkristal
di benak mereka namun jangan di benak kita. Aku ingin hidup seribu tahun lagi!
Teriak Chairil Anwar dalam puisinya. Begitu juga negara ini!
No comments:
Post a Comment