Friday, October 18, 2019

KPU ASAHAN HARUS BERI PENJELASAN!


Santernya duet bakal pasangan calon Nurhajizah-Henri Siregar di media facebook  berdampingan dengan Surya-Taufik dan Rosmansyah-Winda yang ingin bertarung di Pilkada Serentak Asahan 2020, seharusnya sudah mulai di “baca” oleh KPU Asahan.
Kenapa harus di baca KPU Asahan?
Pertarungan balon Bupati-wakil bupati Asahan pada medio 2020 mendatang agak sedikit berbeda dengan pertarungan-pertarungan priode sebelumnya. Pertarungan kali ini di ikuti oleh ibu Brigjen Nurhajizah Marpaung, yang sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil gubernur Sumatera Utara, di priode sebelumnya mendampingi Tengku Erry Nurhadi, walau dengan durasi waktu kurang dari 2,5 Tahun.


Lalu apa ,masalahnya?
Seorang teman sempat membisikkan tentang ketentuan di UU No 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan walikota serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum(PKPU) No. 9 Tahun 2015. Pada halaman 12 dan 13 PKPU tersebut terkait syarat dan siapa saja yang tidak boleh mencalon kan diri menjadi bupati di daerah.

Menurut salah seorang Komisioner KPU Pusat Hadar Nafis Gumay(JPPN,13/7) di salah satu situs berita online, mengatakan merujuk peraturan tersebut Gubernur atau mantan Gubernur tidak bisa mencalonkan diri pada pemilihan bupati/walikota.
Ia menjelaskan,” dalam undang-undang  diatur, pada dasarnya kepala daerah yang sudah punya posisi tinggi tidak boleh mencalonkan ke posisi rendah. Jadi gubernur atau mantan gubernur tidak bisa kebawah , hanya bisa sebagai calon gubernur sepajang belum dua kali.”
Di sisi lain para pengamat politik di Asahan, mengatakan hal tersebut tidak menyebutkan tentang posisi wakil gubernur, sehingga masih aman. Bahkan ada kabar, ketika hal ini di konfirmasi ke KPU Asahan kabarnya juga demikian. Artinya di bolehkan. Apa benar demikian? Ini masih memerlukan konfirmasi dari lembaga tersebut.

Kembali pada Peraturan Komisi Pemilihan Umum(PKPU) No. 9 Tahun 2016(perubahan) , tepatnya pasal 4 tentang siapa-siapa saja yang boleh mencalon jadi Gubernur-wakil, Bupati-wakil dan Walikota-wakil. Khususnya ayat (1). Perhatian kita harus di fokuskan pada butir m dan n. Pada butir n(kecil), di awali dengan kalimat; belum pernah menjabat sebagai :
1.       Gubernur bagi calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon Walikota atau wakil walikota di daerah yang sama
2.       Wakil Gubernur bagi calon bupati, calon wakil bupati. Calon walikota calon wakil walikota di daerah yang sama.....
Jika memperhatikan kalimat tersebut jelas, posisi ibu Brigjen Nurhajizah, terkena dengan peraturan tersebut. Hal ini perlu penjelasan dari pihak-pihak yang berhak dan legal menterjemahkan, sehingga bisa di jadikan pengangan untuk ibu Nurhajizah dengan pasangannya. Maju terus atau membatalkan berpasangan secara elegan, mengingat belum sampai pada pendaftaran di KPU Asahan.
Untuk itu pihak KPU Asahan harus pro aktif mensikapi hal ini, kita tidak mau ibu Nurhajizah dan pasangannya sudah bersusah payah untuk mempopularkan diri, bersusah payah meningkatkan elektabilitas yang membutuhkan dana besar dan mengorbankan waktu, ternyata gagal di akhir cerita. Ini semakin mengharu biru misalnya beliau dan pasangannya memenangkan pemilihan lalu di batalkan karena hal ini.

Tuesday, October 15, 2019

PIRAMIDA PERSEPSI UMAT ISLAM: KEPEMIMPINAN?


Berkaca pada Pilpres 2018, dimana kita yang mengaku bangsa besar, hanya melahirkan dua pasang calon yaitu Jokowi-Makruf dan Probowo-Sandiaga( seperti tak ada alternatip lain?). Lalu kita pun disuguhi drama haru biru yang akhirnya di menangkan mantan walikota solo tersebut!
Bila kita telusuri partai asal kedua pasang calon presiden yang ada, maka motornya pun di dominasi partai Nasionalis yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan partai gerakan Indonesia raya(Gerindra), pertanyaannya di manakah partai Islam?
Partai Islam dalam hal ini, kita asumsikan sebagai partai berazas Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Untuk partai berazas Islam di wakili Partai Keadilan Sejahtera(PKS) sedangkan Partai berbasis massa Islam di wakili oleh; Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Bulan Bintang(PBB) dan lain-lain.  Empat di antaranya berhasil lolos Parlementary Thershold. Artinya umat Islam sudah punya modal untuk melakukan sesuatu, terutama untuk menentukan calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun ditingkat pusat pada  dua sampai lima tahun mendatang.
Kita tak akan membicarakan hasil Pilpres yang baru lalu, di mana umat Islam yang mayoritas di nusantara ini gagal menyalurkan aspirasi untuk melahirkan satu pasang calon presiden dari Partai Islam seperti yang di maksud diatas. Kegagalan itu mungkin saja di sebabakan terlalu banyaknya pikiran umat Islam yang mau di akomodir dari sabang sampai Meurauke yang memiliki karakter dan situasional yang berbeda. Padahal jika umat Islam cukup di wakili pengurus mesjid di seluruh Indonesia saja membuat pernyataan bersama untuk menolak memilih partai Islam jika tidak bisa melahirkan satu pasang calon, pasti partai-partai Islam itu akan bergetar hatinya! Coba bayangkan lagi jika semua perwakilan organisasi massa Islam atau pengajian melakukan hal yang sama?
Melakukan hal yang sama?
 Apa Mungkin?

Untuk pertanyaan besar  dari umat Islam untuk umat Islam, terefleksi dari yang sudah terjadi ternyata pada tingkat pemikiran individu sampai tingkat pemikiran pengajian, kita sulit untuk mendapatkan cara pandang yang sama untuk kepentingan bersama. Hal ini mungkin disebabkan oleh dimensi yang cukup luas dan punya unsur-unsur penyusun juga berbeda bahkan masuk dalam kelompok splinter group( Istilah Gusdur). Kita harus punya tenaga dorong dari luar yang bisa mempengaruhi cara pikir yang telah tersistem ini dan men dobraknya, sehingga muncul cara pikir baru yang memiliki kesamaan atas satu macam persoalan saja. Sebagai contoh, sama dalam hal menentukan calon pemimpin, untuk yang paling  dekat pada Pilkada serentak 2020. Jika ini bisa kita wujudkan setidaknya umat Islam sudah masuk pada tataran Mustaddhaafin, generasi tercerahkan. Seperti di gagas Ali Syariati saat menggerakkan revolusi Islam Iran menjatuhkan Syah Pahlevi pada tahun 1979.
Generasi tercerahkan ini memiliki pondasi cara pandang  yang sama atas persoalan umat yang dianggap krusial, tidak harus berusaha memberikan solusi atas segala masalah yang timbul, tapi berusaha menyelesaikan satu masalah secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan. Sehingga pada simpul masalah tersebut yang telah di “bedah” sedemikian hingga dapat menyembuhkan penyakit (masalah) yang ada. Sampai di titik ini harusnya dengan beragam berbedaan yang kita miliki kita mulai lah menyamakan persepsi atas kepemimpinan. Dimana dalam kepemimpinan tersebut nilai-nilai Islam harus terkristalisasi sehingga menjadi dasar aktualisasi saat mendapat mandat Illahi untuk jadi pemimpin! Sekaligus menyadari kita sudah di bingkai dengan dasar negara Pancasila. Jadi buang niat mendirikan negara diatas negara, tapi berniatlah untuk jadi rahmatan lil alamin bagi negara. Dan jadikan Negara menjadi ladang kita beramal! Karena nilai-nilai keIslaman tidak pernah di batasi oleh Negara, etnis , daerah, laut atau tembok besar sekalipun! Ia melopati itu semua....
Memiliki pemikiran yang sama, terhadap satu persoalan saja. Sebenarnya sudah cukup jadi tenaga penggerak(Power) untuk memperbaharui cara berpikir umat Islam sehingga masuk dalam kategori generasi yang tercerahkan. Ini bisa kita rujuk pada piramida taksonomi pada biologi.  Tentang klasifikasi makhluk hidup! Di mana semakin tinggi klasifikasinya, maka semakin banyak persamaan semakin sedikit perbedaan, sebaliknya pada tingkat yang paling rendah semakin sedikit persamaan semakin banyak perbedaan.  Namun hal yang terlihat gampang menjadi masalah yang sangat besar ketika bercampur dengan bermacam-macam kepentingan terkait pribadi, kelompok dan kepentingan-kepentingan lain.
Oleh karena pada tataran individu itu sangat sulit di pandang dari sudut kuantitas, maka umat Islam mencoba mendekatkan persamaan dengan masuk dalam organisasi massa atau pun politik. Sebenarnya, Muhammadiyah, NU, Alwasliyah, Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Keadilan Sejahtera(PKS), Partai Amanat Nasional(PAN),Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) dsb  merupakan wadah menyatukan persepsi individu dalam kelompok. Sehingga terjadi kristalisasi persepsi umat Islam yang jelas dan terlihat di permukaan dan masih bisa kita hitung dengan jari yang ada! Kita mengharapkan, kristalisasi persepsi yang sudah nampak ini bisa mengerucut pada satu pandangan yang sama  dengan terus berusaha untuk mengkomunikasikan pada invidu dibawah yang mereka wadahi.
 Pola ini seperti piramida  dimana pada dasar persepsi adalah persepsi Umat yang di wakili individu, pada level di atasnya persepsi Individu yang beragam terwadahi pada organisasi massa(Ormas) atau Partai Politik(Parpol), lalu kita mengharapkan Ormas dan Parpol ini bisa bersinergi dengan membuat satu persepsi yang terkristal, misalnya tentang kepemimpinan. Baik Nasional maupun daerah.

PIRAMIDA PERSEPSI UMAT ISLAM: KEPEMIMPINAN?


Berkaca pada Pilpres 2018, dimana kita yang mengaku bangsa besar, hanya melahirkan dua pasang calon yaitu Jokowi-Makruf dan Probowo-Sandiaga( seperti tak ada alternatip lain?). Lalu kita pun disuguhi drama haru biru yang akhirnya di menangkan mantan walikota solo tersebut!
Bila kita telusuri partai asal kedua pasang calon presiden yang ada, maka motornya pun di dominasi partai Nasionalis yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDIP) dan partai gerakan Indonesia raya(Gerindra), pertanyaannya di manakah partai Islam?
Partai Islam dalam hal ini, kita asumsikan sebagai partai berazas Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Untuk partai berazas Islam di wakili Partai Keadilan Sejahtera(PKS) sedangkan Partai berbasis massa Islam di wakili oleh; Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Kebangkitan Bangsa(PKB), Partai Amanat Nasional(PAN), Partai Bulan Bintang(PBB) dan lain-lain.  Empat di antaranya berhasil lolos Parlementary Thershold. Artinya umat Islam sudah punya modal untuk melakukan sesuatu, terutama untuk menentukan calon pemimpin baik di tingkat daerah maupun ditingkat pusat pada  dua sampai lima tahun mendatang.
Kita tak akan membicarakan hasil Pilpres yang baru lalu, di mana umat Islam yang mayoritas di nusantara ini gagal menyalurkan aspirasi untuk melahirkan satu pasang calon presiden dari Partai Islam seperti yang di maksud diatas. Kegagalan itu mungkin saja di sebabakan terlalu banyaknya pikiran umat Islam yang mau di akomodir dari sabang sampai Meurauke yang memiliki karakter dan situasional yang berbeda. Padahal jika umat Islam cukup di wakili pengurus mesjid di seluruh Indonesia saja membuat pernyataan bersama untuk menolak memilih partai Islam jika tidak bisa melahirkan satu pasang calon, pasti partai-partai Islam itu akan bergetar hatinya! Coba bayangkan lagi jika semua perwakilan organisasi massa Islam atau pengajian melakukan hal yang sama?
Melakukan hal yang sama?
 Apa Mungkin?

Untuk pertanyaan besar  dari umat Islam untuk umat Islam, terefleksi dari yang sudah terjadi ternyata pada tingkat pemikiran individu sampai tingkat pemikiran pengajian, kita sulit untuk mendapatkan cara pandang yang sama untuk kepentingan bersama. Hal ini mungkin disebabkan oleh dimensi yang cukup luas dan punya unsur-unsur penyusun juga berbeda bahkan masuk dalam kelompok splinter group( Istilah Gusdur). Kita harus punya tenaga dorong dari luar yang bisa mempengaruhi cara pikir yang telah tersistem ini dan men dobraknya, sehingga muncul cara pikir baru yang memiliki kesamaan atas satu macam persoalan saja. Sebagai contoh, sama dalam hal menentukan calon pemimpin, untuk yang paling  dekat pada Pilkada serentak 2020. Jika ini bisa kita wujudkan setidaknya umat Islam sudah masuk pada tataran Mustaddhaafin, generasi tercerahkan. Seperti di gagas Ali Syariati saat menggerakkan revolusi Islam Iran menjatuhkan Syah Pahlevi pada tahun 1979.
Generasi tercerahkan ini memiliki pondasi cara pandang  yang sama atas persoalan umat yang dianggap krusial, tidak harus berusaha memberikan solusi atas segala masalah yang timbul, tapi berusaha menyelesaikan satu masalah secara sistematis, konsisten dan berkelanjutan. Sehingga pada simpul masalah tersebut yang telah di “bedah” sedemikian hingga dapat menyembuhkan penyakit (masalah) yang ada. Sampai di titik ini harusnya dengan beragam berbedaan yang kita miliki kita mulai lah menyamakan persepsi atas kepemimpinan. Dimana dalam kepemimpinan tersebut nilai-nilai Islam harus terkristalisasi sehingga menjadi dasar aktualisasi saat mendapat mandat Illahi untuk jadi pemimpin! Sekaligus menyadari kita sudah di bingkai dengan dasar negara Pancasila. Jadi buang niat mendirikan negara diatas negara, tapi berniatlah untuk jadi rahmatan lil alamin bagi negara. Dan jadikan Negara menjadi ladang kita beramal! Karena nilai-nilai keIslaman tidak pernah di batasi oleh Negara, etnis , daerah, laut atau tembok besar sekalipun! Ia melopati itu semua....
Memiliki pemikiran yang sama, terhadap satu persoalan saja. Sebenarnya sudah cukup jadi tenaga penggerak(Power) untuk memperbaharui cara berpikir umat Islam sehingga masuk dalam kategori generasi yang tercerahkan. Ini bisa kita rujuk pada piramida taksonomi pada biologi.  Tentang klasifikasi makhluk hidup! Di mana semakin tinggi klasifikasinya, maka semakin banyak persamaan semakin sedikit perbedaan, sebaliknya pada tingkat yang paling rendah semakin sedikit persamaan semakin banyak perbedaan.  Namun hal yang terlihat gampang menjadi masalah yang sangat besar ketika bercampur dengan bermacam-macam kepentingan terkait pribadi, kelompok dan kepentingan-kepentingan lain.

Oleh karena pada tataran individu itu sangat sulit di pandang dari sudut kuantitas, maka umat Islam mencoba mendekatkan persamaan dengan masuk dalam organisasi massa atau pun politik. Sebenarnya, Muhammadiyah, NU, Alwasliyah, Partai Persatuan Pembangunan(PPP), Partai Keadilan Sejahtera(PKS), Partai Amanat Nasional(PAN),Partai Kebangkitan Bangsa(PKB) dsb  merupakan wadah menyatukan persepsi individu dalam kelompok. Sehingga terjadi kristalisasi persepsi umat Islam yang jelas dan terlihat di permukaan dan masih bisa kita hitung dengan jari yang ada! Kita mengharapkan, kristalisasi persepsi yang sudah nampak ini bisa mengerucut pada satu pandangan yang sama  dengan terus berusaha untuk mengkomunikasikan pada invidu dibawah yang mereka wadahi.
 Pola ini seperti piramida  dimana pada dasar persepsi adalah persepsi Umat yang di wakili individu, pada level di atasnya persepsi Individu yang beragam terwadahi pada organisasi massa(Ormas) atau Partai Politik(Parpol), lalu kita mengharapkan Ormas dan Parpol ini bisa bersinergi dengan membuat satu persepsi yang terkristal, misalnya tentang kepemimpinan. Baik Nasional maupun daerah.

Friday, March 23, 2018

SITUS KPUD SUMUT DI BLOKIR?

Di tengah “kelesuan” Pilkada Sumut, yang sangat berbeda nuansanya dengan Pilkada sebelumya. Mulai dari belum resminya pasangan JR Saragih- Ance Silian untuk ikut bertarung karena kasus legalitas ijazah bupati Simalungun tersebut, sampai tidak adanya pergerakan di posko-posko pemenangan calon. Ternyata juga berdampak pada situs KPUD Sumut.

Saat di kunjungi via dunia maya pada jam 0.46 WIB, situs KPUD Sumut yang beralamat https://kpud-sumutprov.go.id/  tidak dapat di buka. Bahkan pada keterangan yang ada, dinyatakan jika situs ini disuspend atau di blokir. Kondisi ini tentu saja menimbulkan tanda tanya. Apakah ini murni karena ulah KPUD Sumut atau ada pihak lain yang meng Hack situs tersebut.

Untungnya setelah beberapa kali mencoba mencari informasi tentang KPUD Sumut, akhirnya di dapat data dari situs http://ppid.kpu.go.id/?idkpu=1200&idmenu=infosetiapsaat , hanya saja kejanggalan juga ada pada situs ini. Dari keterangan web, situs ini masuk dalam kategori tidak aman. Walau demikian susunan komisioner masih bisa kita akses dan termasuk perundang-undangan yang terkait pemilu.
Bila di lihat dari tugas, fungsi dan peranan KPUD Sumut dalam mensukseskan PILKADA, model pemanfaatan web yang terkesan apa adanya ini jelas tidak menunjukkan akuntabilitas dari KPUD Sumut itu sendiri. Mudah mudahan beberapa hari kedepan, situs yang mudah diakses dengan jaminan keamanan yang baik bisa di wujudkan hingga penghitungan suara nanti. Bagaimana KPUD Sumut? 

ERAMAS, WAJIB WASPADA!

Beberapa waktu yang lalu,  beberapa sukarelawan yang selama ini memutuskan untuk mendukung pasangan ERAMAS, Edi Rahmayadi- Musa Rajekshah dalam pilkada Sumatera Utara mendatang. Mulai kehilangan kepercayaan atas pola atau model pendekatan yang dilakukan tim kampanye pasangan tersebut.
Kesan tim kampanye yang tidak solid antara tim sukses dan relawan mulai terlihat kentara. Untuk partai-partai pendukung Eramas, kesan masih “tidur” tidak bisa di pungkiri. Kalangan partai masih mengedepankan promosi eramas dengan spanduk atau bener. Dan kurang memperhatikan riak-riak dalam masyarakat pemilih. Klaim pasangan ketua PSSI dan penggemar otomotif ini akan menang bila pilkada di laksanakan saat ini sepertinya harus di koreksi.

Kondisi gagalnya tim Eramas dalam mengelola perasaan dan emosi pemilihnya bisa kita lihat dari data survei yang di lakukan Median pada februari 2018. Pada saat itu pasangan Eramas mendapatkan suara 33,1% . Sedangakan Djoss(Djarot-Sihar) dengan 19,2% suara dan JR-Ance (JR Saragih-Ance Silian) berada pada peringkat bawah dengan 10,5% suara.
Tak penuh sebulan, tepatnya di 23 Maret 2018, indobarometer mengeluarkan hasil survei yang mengacu kepada tokoh bukan pasangan calon. Hasilnya cukup mengejutkan.
Calon Gubernur
Elektabilitas
Tertutup(%)
Terbuka(%)
ME(%)
Edi Rahmayadi
27,4
22,8
3,46
Djarot Saifullah
27,8
21,5
JR. Saragih
9,4
8,1
Abstain
35,4
46,8
jumlah
100
99,2
*Indobarometer/Kompas

Ternyata pasangan Eramas mulai tersusul dengan akselerasi yang cukup baik dari pasangan Djoss. Djarot, yang juga mantan gubernur DKI Jakarta unggul tipis 0,6% dari Edi Rahmayadi. Dan unggul 18,4% dari JR Saragih.
Untuk posisi wakil gubernur, pasangan Djarot, Sihar Sitorus sudah mulai menunjukkan tajinya. Ia unggul 0,7% dari Musa Rajekshah dan jauh meninggalkan Ance Silian hingga 13,8%. Untuk survei tertutup, Perhatikan grafik!
Calon Wakil Gubernur
Elektabilitas
Tertutup
Terbuka
ME(%)
Sihar Sitorus
19,1
17,1
3,46
Musa Rajekshah
18,4
15
Ance Silian
5,3
4,3
Abstain
57,2
63,6
jumlah
100
100
*Indobarometer/Kompas
Survei ini menggunakan mergin error(ME) 3,46% , artinya hasil survei dalam rentang kurang dari 3,46% atau lebih 3,46%.
Memperhatikan ME, pasangan Eramas dan Djoss betul betul bersaing ketat. Yang cukup menarik ternyata golongan massa mengambang yang belum menentukan pilihan mengalami peningkatan hingga 61,8 %(tertutup).
Secara rata-rata pasangan Eramas memiliki tingkat eletabilitas 36,6%, Djarot dengan Sihar melejit dengan 37,35% dan JR-Ance masih terus mempertahankan posisi aslinya dengan 12,5%. Jelas data ini mau tak mau anggapan Pilkada Sumut akan seru seperti PILkada Jakarta mulai menemukan arenanya sendiri.


Dengan popularitas Djoss yang semakin meningkat, Eramas harus waspada. Jika waktu-waktu sebelumnya kesan tim Eramas yang tidak solid, terutama di kalangan relawannya mulai terlihat maka sekarang saatnya tim Eramas mengemas kembali unsur-unsur partai dan non partai dengan sentuhan dan koordinasi yang merangkul semua unsur, jika tidak tim Eramas akan semakin merenggang dan kehilangan elastisitasnya. 

Thursday, March 22, 2018

INDONESIA BUBAR 2019?

Seminggu terakhir media massa lokal baik berbasis kertas dan elektroknik ramai memberitakan tentang pernyataan Amien Rais terkait bagi-bagi sertifikat tanah(PRONA) yang di lakukan Badan Pertanahan Nasional(BPN) di masa pemerintahan Jokowi saat ini. Serta pernyataan Prabowo terkait Indonesia bubar di tahun 2030.
Melihat dari plintiran media, omongan Amien Rais tentang bagi-bagi sertifikat di kaitkan dengan “ngibulnya” Jokowi pada rakyat. Alasan ngibul ini berdasarkan urutan-urutan kegiatan yang di butuhkan untuk mensyahkan kepemilikan tanah memerlukan waktu yang lama, mulai dari sejarah sampai keluar akta pengesahan dan BPN, di khawatirkan tidak cukup ruang untuk Jokowi menuntaskan persoalan itu. Jadi proyek sertifikasi tanah, menurut Mantan Ketua MPR tersebut sebuah kebohongan alias “ngibul”.

Amien kemudian menyoroti persoalan kepemilikan tanah yang banyak di miliki oleh pemodal-pemodal asing yang seharusnya menjadi hal urgen untuk di atasi. Karena hal tersebut menyangkut kedaulatan kita sebagai bangsa dan negara.
Komentar Mas Amien Rais bila di lihat dari sisi ekonomi jelas, sebuah kekeliruan pemikiran. Orang sekaliber  Amin seperti lupa bahwa perekonomian kita saat ini dominan di topang oleh sektor pajak. Ketika minyak bumi sudah tidak bisa di andalkan, maka mau tau mau kita mencari solusi internal untuk pembiayaan negara. Sedangkan sektor-sektor lain belum bisa di andalkan sebagai bentuk peninggalan pemerintah sebelumnya-sebelumnya. Masih ingat kasus Busang? Di situ peran Amien Rais cukup menonjol atas terbongkarnya investasi bodong di sektor penambangan emas. Itu riil ekonomi.
Di jaman kekinian, perhatian Amien atas persoalan ekonomi sepertinya mulai memudar. Indikasi peningkatan sumber pendapatan pajak, bisa di lihat dari banyak pemilik tanah mendaftarkan kepemilikannya kepada negara. Sampai-sampai banyak di kalangan masyarakat yang tidak sepenuhnya mau mengikuti PRONA tersebut dengan maksud menghindari pengeluaran atas tanah yang di milikinya mengalahkan ringanya biaya untuk mendapatkan akta tanah( gratis?). Jadi anggapan pemerintah  gagal melakukan sertifikasi tanah juga di dukung oleh cara berpikir masyarakat yang belum sadar pajak.
Untuk kedaulatan Negara, dengan adanya sertifikasi kepemilikan tanah. Diharapkan pemerintah lebih mudah mendapatkan data kepemilikan tanah oleh orang asing agar lebih mudah memantau dan mengontrolnya. Lalu di mana ruginya program ‘ngibul” Jokowi ini?
Menurut Budiman Sujatdmiko, politikus PDI-P. Kritik Amien Rais tentang sertifikasi tanah yang di plintir media jadi “ngibul Jokowi” merupakan kritik yang tidak berdasarkan logika. Jadi menurutnya kritik ini tidak usah di tanggapi serius. Ia mengatakan komentar para penggiat media sosial atas pernyataan Amien ini di tanggapi dengan hahahahihihi....., bahkan salah seorang pentinggi PAN di salah satu stasiun TV swasta mengatakan kritik Amien bukan terkait politik. Jadi benar gak perlu di tanggapi serius? Tapi reaksi masyarakat bermunculan dengan bermacam tanda tanya yang meresahkan. Kritik Amien sebenarnya sukses membuat masyarakat gelisah, resah dan berpotensi melunturkan logika!

Lain lagi dengan komentar Prabowo yang mengatakan Indonesia bubar di tahun 2030. Pernyataan yang di keluarkan Prabowo ini seolah-olah melegetimasi bahwa hanya Prabowo yang bisa mencegah hal itu terjadi. Tokoh yang namanya Prabowo ini beranggapan ia identik dengan orang kuat, punya kecakapan militer, memiliki dukungan finasial yang mumpuni dan punya kebijaksanaan sekelas Gajah Mada, maka tak heran banyak pendukungnya menyamakan beliau dengan Soekarno( tambah kecil di belakangnya). Sekali lagi apakah ini sesuai dengan logika? Tentu tidak! Ini hanya sebuah prediksi. Bahkan setelah di desak mengenai alasan pernyataan ini di keluarkan, ia mengakui kalau pernyataan tersebut di peroleh dari sebuah cerita fiksi. Lalu apa yang kita peroleh? Tak lebih sama dengan peryataan Amien, menimbulkan keresahan, kegundahan dan berpotensi menggerus logika.
Bercermin dari kritik dan pernyataan kedua tokoh Nasional tersebut, yang di sinyalir para pendukungnya tidak terkait politik. Tapi cukup meresahkan secara nasional, karena terus di eksploitasi di media sosial dan elektronik sehingga terjadi penguatan-penguatan. Prediksi Indonesia bubar di tahun 2030 sepertinya akan berakselarasi lebih cepat. Jika indikasi-indikasi komentar Tokoh-tokoh Nasional terus bermuara pada samudera keresahan di masyarakat, bukan tanpa alasan jika Indonesia berpotensi bubar di tahun 2019. Dan itu terjadi karena ambisi politik pribadi atau golongan yang berada diatas kelangsungan Negara ini dan  arena pertarungannya di PilPres mendatang, secara logika.
Ambisi-ambisi ini baik pribadi atau golongan(vested interst group) yang ingin mendapatkan kekuasaan dengan kritik dan komentar yang menimbulkan keresahan dimasyarakat. Lalu dengan keresahan yang timbul di harapkan mengikis logika kita , yang selanjutnya menimbulkan perasaan yang sama dan kemudian memilih mereka. Sama sekali tidak menunjukkan mereka negarawan yang hebat. Atau setidak-tidaknya kita bisa mengatakan tokoh yang seperti itu, ingin membangun kekekuasaannya atas landasan perasaan?    

Itu tidak akan terwujud jika kita, masyarakat awam sebahagian besar tidak terhanyut dan terbawa arus pemikiran tanpa logika ini. Biarlah pemikiran-pemikiran seperti ini terkristal di benak mereka namun jangan di benak kita. Aku ingin hidup seribu tahun lagi! Teriak Chairil Anwar dalam puisinya. Begitu juga negara ini!

Tuesday, March 13, 2018

ERAMAS DAN PARA KETUA-KETUA YANG MERASA DI CUEKIN

Beberapa waktu yang lalu, calon wakil Gubernur Sumatera Utara(Sumut) Musa Rajeksa alias Ijek berkunjung ke Kisaran, Asahan. Bahkan dari sumber yang terpercaya, saat itu  sang tokoh sempat ngopi di Chong bie, kedai kopi ternama di Kisaran.
Di kesempatan sebelumnya Ijek juga sempat menghadiri pesta perkawinan di Simpang Mayang(Perdagangan), karena persoalan waktu para Ketua( yang mengaku orang dekat Edi Ramayadi atau Ijek) ternyata tidak bisa bersua. Kalau  tak mau di bilang gagal menunjukkan diri mereka orang dekat alias Ketua.
Sepengetahuan penulis, para ketua ini memiliki kedekatan karena macam-macam alasan. Ada yang mengaku karena pertalian darah, karena suku, dalam satu organisasi atau memiliki hobi yang sama. Pendek kata orang-orang yang dianggap ketua ini punya kedekatan, walau hanya sebuah kedekatan sejarah sekali pun.
Pertanyaannya sekarang, Kenapa para Ketua( dengan dua tanda kutip) ini terkesan jalan tanpa acuan? Yang sangat mengagetkan, seperti kasus kedatangan Ijek ke Kisaran. Para katua yang mengaku relewan ERAMAS( Edi Rahmayadi- Musa Rajeksa) ada yang tidak tahu sama sekali dengan kedatangan Ijek? Bahkan kalau mau jujur relawan yang tidak tahu kedatangan sang tokoh ini, jauh lebih militan dalam mengkampanyekan ERAMAS bahkan jauh masuk sampai kedalam sisi relejius.
Jelas kondisi ini bukan sinyalemen yang baik untuk kubu ERAMAS, walau pun ada jargon di masyarakat, ERAMAS tanpa kampanye pun pasti menang di Sumatera Utara. Perlu di ingat, dalam politik, seperti kita mafhum apa pun bisa terjadi dalam hitungan detik. Jika kiat sederhana, saja tidak di pahami tim kampanye ERAMAS, bisa saja individu-individu yang sebelumnya sudah merasa terikat dengan ERAMAS  berdasarkan agama, suku, organisasi dan hobi, dengan dinamika waktu berubah menyederhanakan persoalan menjadi hanya persolan politik. Bila ini terjadi ERAMAS akan tergurus posisinya di benak individu-individu yang dahulunya mendukung, menjadi orang netral yang tak berpihak. Mereka jadi orang-orang yang “menunggu” keuntungan sesaat dalam politik. Andai sikap ini muncul, jargon ERAMAS akan menang tanpa kampanye terpaksa lebih awal kita kasih tanda silang.

MESIN POLITIK TIDAK JALAN
Menelisik latar belakang Edi Ramayadi dan Ijek, militer - penghobi otomotif( di luar usahawan), terlihat jelas sebenarnya kedua tokoh ini tidak punya pengalaman politik yang mumpuni. Ini titik lemah yang secara alamiah semestinya di rawat dengan baik. Memang untuk elektabilitas, yang jauh dari bau politik saat ini menjadi daya tarik utama bagi calon pemilih. Untuk militer, terkesan lebih harum akibat efek berantai pengelolaan pemerintah daerah oleh sipil yang kurang merakyat serta kurang mensejahterakan akibat kasus korupsi, khususnya untuk Sumut. Jadi tokoh militer seperti memberi harapan.
Dengan pengalaman politik yang minim, seharusna partai pendukung ERAMAS lebih pro aktif untuk memberikan edukasi program-program secara simultan kepada warga Sumut dengan pendekatan yang jauh dari kesan kampanye formal yang gariskan Komisi Pemilihan Umum(KPU). Sehingga warga  yang sebelumnya secara alamiah sudah menetapkan diri dalam hati untuk ERAMAS semakin kuat keyakinannya pada hari H nanti untuk memimilih. Bukan sebaliknya malah semakin terkikis, karena alasan-alasan sepele kata orang Asahan. Misalnya kesan di ceukin , realitas kedatangan Ijek yang singgah di kantor pemenangan Muslim Simbolon di jalan Willem Iskandar lalu berkunjung ke Pasar. Tidak banyak di ketahui orang-orang yang sering di panggil Ketua dan merasa di abaikan (akibat koordinasi yang tak jelas), berpotensi mengerosi ketetapan hati yang ada sebelumnya. Jika sebelumnya seratus persen kini tinggal tujuh puluh lima persen.
Oleh sebab itu Tim kampanye ERAMAS harus lebih jeli mempetakan keberadaan tim relawan non partisan yang berada di daerah-daerah, lalu kemudian membuat simpul koordinasi dengan lebih komunikatif. Tidak seperti sekarang ini, Ijek yang nota bene adalah penggemar otomotif lebih mengutamakan jalur otomotif sebagai saluran komunikasi utama, lalu saluran lain seperti terisolasi alamat lah gesekan-gesekan kecil akan mengurangi daya lekat yang selama ini sudah ada. Sederhananya ROADMAP tim pemenangan, jauh-jauh hari sudah di ketahui oleh relawan non partisan di luar jalur otomotif!
Jadi Tim ERAMAS perlu penekanan yang jelas tentang koordinasi antara Tim Formal yang di motori Partai serta Tim Relawan yang non partisan. Jika ini gagal di kelola maka kalimat bijak yang di tulis Tereliye siap-siap akan menimpa pemilih awal yang telah meneken dalam hati untuk memilih ERAMAS menjadi pemilih netral dan menelan kalimat, “ jika kamu terlalu idealis, siap-siaplah dikhianati kenyataan.”  Dan kubu tim lawan sudah mulai menghembuskan Pilkada Sumut mendatang murni politik, bukan yang lain-lain.

Para ketua yang merasa di tinggalkan padahal mereka ikut deklarasi ke Medan dengan sukarela, tapi saat berkunjung ke Asahan tidak dapat informasi, cukuplah hanya terjadi di Kisaran, untuk daerah lain mohon jangan di ulang. Sebab para ketua inilah yang sebenarnya memiliki basis militan yang menepikan persoalan uang atau keuntungan pribadi. Mereka sebelumnya sudah terkontaminasi ERAMAS karena berbagai alasan, karena merasa di cuekin mereka menjadi netral, itu jadi satu kerugian yang bisa menjungkalkan semua prediksi. Pemilih yang sudah netral, jadi massa mengambang tergantung arus mana yang kuat menghanyutkan. Sedangkan pemilih idealis, karena agama, suku, organisasi dan hobi sebenarnya basis ERAMAS yang harus dijaga.( M. Ali Hasyimi)